Jineva yang baru saja tiba di kampus langsung dibuat terkejut karena Emir—ayah dari Jirene menghalangi jalannya.
“Lho om? Om ada di kampus? Tumben banget nih. Mau ngomong sama aku?” tanya Jineva dengan sopan, tak lupa mencium punggung tangan Emir.
“Betul, om ada urusan denganmu. Kamu lagi buru-buru? Kalo iya, kita bisa obrolin hal ini setelah kamu selesai—” ucapan Emir terpotong dengan gelengan dari Jineva.
“Maaf ya om, tapi aku lagi ga buru-buru kok. Aku tadi niatnya mau ke perpustakaan aja. Om mau kita ngobrol dimana?” sahut Jineva membuat Emir tersenyum.
Jineva menganggukkan kepalanya saat pesanan mereka tiba, “Terima kasih.”
Emir mengajak Jineva untuk berbicara di sebuah kafe yang tidak jauh dari kampus. Suasana canggung yang mulai menerpa membuat keduanya bingung.
“Om tadi mau ngomong apa? Ada hubungannya sama Jirene?” Jineva memulai topik obrolan membuat Emir mengangguk.
“Kemarin malam dia mimpi buruk tentang kejadian di masa lalu,” Emir mulai bercerita membuat Jineva terkejut, “dia nangis semalaman dan baru bisa tidur lagi jam 3 pagi.”
“Om cuma minta sama kamu, tolong jagain Jirene ya. Om ga bisa ngawasin dia kalo udah di kampus. Kamu tahu sendiri kalo Jirene habis mimpi, dia akan merasa takut luar biasa. Jadi tolong jagain Jirene, om sangat berterima kasih.” Emir melanjutkan cerita dengan ujung mata yang dialiri air.
Jineva mengibaskan tangannya, “Haduh om mah! Kenapa engga chat aku ana soal kondisi Jirene semalam? Tanpa om suruh seperti ini aku juga bakal jagain Jirene kok. Jadi om tenang aja, nanti aku bakal bilang sama yang lain juga.”
Emir tersenyum dan bangkit, “Seperti yang om perkirakan, kamu masih bisa diandalkan. Maaf jadi ngerepotin kamu. Om pamit pulang ya.”
Jineva mengangguk dan melambaikan tangan kearah Emir, tapi baru 3 langkah menjauh dari Jineva, lelaki itu kembali mendekat.
“Ada apa lagi om?” tanya Jineva membuat Emir menggarukkan kepalanya.
“Jirene punya pacar ya?” Emir bertanya dengan malu-malu membuat Jineva bingung.
“Selama ini aku ga pernah denger Jirene ada pacar. Tapi kalo yang deketin ada.”
“Siapa namanya? Anaknya baik ga?” tanya Emir dengan semangat membuat Jineva terkekeh.
“Baik kok, namanya Elang.”
Emir manggut-manggut sembari senyum-senyum sendiri, dia lalu mengeluarkan sesuatu di dalam kantung celananya. “Ini ga banyak, buat nambahin jajan kamu. Jangan bilang sama Benyamin lho ya!”
Setelah menyodorkan selembar uang berwarna merah kepada Jineva, Emir langsung lari secepatnya. Jineva hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Emir.
☁🌇☁
Mizel berkacak pinggang melihat Cherry di depannya, “Maksud lo apaan sih anjir? Kalo orang tau gimana?”
“Ya terus kenapa kalo orang tau?” tanya Cherry membuat Mizel menaikkan sebelah alisnya.
“Gue ga masalah, tapi gimana penilaian orang sama lo? Gue tau itu seni, tapi lo cewek. Pasti ada aja orang-orang bangsat yang bakal ngejelekin lo karena ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
AMISTAD || TWICE [ongoing]
Fanfiction"Yakin masih mau pertahanin persahabatan ini? Ini mah udah hancur," Nala bertanya dengan menatap sahabatnya satu-persatu. "Kalo kayak begini terus, gue ga kuat!" lalu dia memegangi dadanya dan air mata terjun kembali kepipi melalui matanya. "Lo gila...