bukan rumah ¦ parte 3

52 8 2
                                    

Dienala Claudia

Aku Langsung mengemasi beberapa pakaianku untuk 2 sampai 4 hari kedepan di rumah keluargaku yang berada di Jakarta.

Sejujurnya ini agak berat untukku, terlebih lagi aku juga tidak terlalu peduli lagi tentang urusan keluargaku yang hancur ini. Tapi bagaimana adikku? Di sana ia hanya sendiri. Aku takut di antara papa atau mamaku menyakitinya.

Aku menghubungi Cherry terlebih dahulu, lalu lanjut menghubungi Kak Jinev dan Kak Syenna. Hanya mereka yang bisa aku hubungi. Sebenernya karena aku lebih nyaman terhadap mereka saja.

Aku takut jika nanti aku hubungi yang lain akan membuat mereka khawatir dan menambah beban pikiran mereka.

Di dalam kereta ini, aku hanya melihat keluar jendela. Bagaimana rasanya memiliki keluarga yang harmonis? Orangtuamu yang menyayangimu. Aku sungguh iri melihat beberapa orang yang bisa melakukan hal itu, termasuk keluarga Kak Jineva.

Handphoneku berdering. Nomernya tidak aku simpan tapinya. Apa harus aku angkat? Jujur saja, aku sedikit malas mengangkat telepon dari orang yang tidak aku simpan nomernya.

"Halo, dengan siapa ya?" tanyaku kepada seseorang yang meneleponku.

"Kak Diela? Ini aku Afdan kak. Aku minjem hp temen sekolahku," jawab seseorang yang ternyata adalah adikku.

Afdan, itu nama adikku. Sekarang dia kelas 9 SMP. Aku cukup khawatir tentang keadaannya. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan. Tapi sepertinya akan memakan waktu lama jika semua yang ada dibenakku ini langsungku keluarkan.

"Oh Afdan, kenapa de? Kamu udah pulanh sekolah?" tanyaku kepada Afdan.

"Udah kak, ini aku lagi di rumah temen makanya. Kakak kapan datengnya? Afdan takut banget ngeliat papa sama mama kalo berantem terus di rumah," ucapan dari Afdan berhasil membuat air mataku menetes seketika.

"Iya ini kakak udah di kereta kok. Kamu ada luka? papa sama mama ga ada yang mukul kamukan?" tanyaku khawatir mendengar suara adikku.

"Kakak tenang aja, Afdan baik-baik aja kok. Kakak cepetan ya pulangnya," Afdan sudah sangat menungguku untuk datang kerumah. Apakah semakin parah setelah aku kuliah di Bandung?

"Iya ade. Boleh kasih ketemen kamu ga? Kakak mau ngomong sama temen ade," balasku. Terdengar sekilas suara redup-redup adikku yang memberikan ponsel milik temannya itu kembali ke sipemiliknya.

"Halo, ini kakak bicara sama siapa ya?" tanyaku menatap layar ponsel.

"Namaku Ghifari kak. Ada apa ya kak?" Ghifari mengajukan pertanyaan untukku.

"Kakak boleh nitip Afdan sebentar di rumah kamu? Mungkin jam 7 kakak baru bisa jemput Afdan. Nanti bisa kirim alamat kamu? Biar nanti kakak langsung kerumah kamu aja," balasku.

Aku menunggu balasan dari Ghifari yang sedikit lama menjawab. Mungkin anak itu sedang memikirkan kembali apa yang harus ia bicarakan denganku.

"Yaudah kak gapapa. Nanti aku kirimin alamatnya lewat chat ya," balas Ghifari lalu izin mematikan sambungan telepon.

Setelah memastikannya, aku langsung menyimpan kembali ponselku ke dalam tas selempang kecil yang aku bawa.

Bagaimana keadaan mama? Bagaimana keadaan rumah? Pertanyaan-pertanyaan selalu terhubung menjadi satu ketika aku mulai memikirkan ini.

Jika ini hanya sekedar mimpi. Aku pastikan aku akan selalu terjaga supaya tidak mengalami mimpi buruk ini. Sayangnya ini adalah kenyataan yang harus aku jalani.

☁ 🌇☁

Aku menggandeng tangan Afdan dan menariknya kesebuah tempat makan yang berada di pinggir jalan.

AMISTAD || TWICE [ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang