"Eugh, capek banget tadi siang ngampus sampe malam gini," Jineva merenggangkan semua ototnya yang terasa kaku sedari tadi.
"Iya betul banget, mana tadi di kelasku tiba-tiba ada quiz mendadak lagi, huft untung aja udah belajar semalam," sambung Syenna dengan ekspreksinya yang lucu dengan bibir yang ia kerucutkan.
"Btw mau makan di warteg biasa aja nih kita?" Jirene menatap dua temannya yang langsung diangguki tersebut.
Mereka bertiga langsung memasuki sebuah rumah makan yang tidak terlalu mewah tersebut. Tapi harga makanannya sangat pas untuk kantong mereka.
"Oh iya aku mau nanya deh sama kalian," ucap Syenna membuat Jirene dan Jinev menatapnya penuh tanya.
"Mau tanya apa?" tanya Jirene, "Oh iya bu pakai kuah sayur itu gapapa."
"Apa masalah keluarga Diela makin buruk ya?" sambung Syenna sembari mengaduk-aduk makanan yang tadi sudah ia pesan.
"Hah? Buruk gimana deh maksud kamu?" tanya Jinev setelah selesai menyeruput es teh manis miliknya.
"Tadi pas aku kumpul ga sengaja denger dia lagi teleponan, tapi bisa aku pastiin itu adalah ayahnya Diela," ucap Syenna sembari menyuapkan nasi kedalam mulutnya.
"Tanpa mendengar percakapan dengannya dengan jarak dekat aku tahu pasti ada yang ga beres kalau di lihat dari ekspresinya tadi," lanjut Syenna dengan kurang jelas karena masih mengunyah makanan di dalam mulutnya.
"Aku juga merasa dia beberapa hari ini agak pendiam gitu deh," ucap Jirene sembari meminum teh tawar hangatnya.
"Hm, aku harap dia akan baik-baik saja. Aku cukup khawatir kalau itu memang berdampak dengan Diela dan adiknya nanti," kata Jinev seraya melihat kearah depan.
Semuanya mengangguk menyetujui ucapan Jinev. Sebagai sahabat ia hanya bisa mendukung dan menyemangati Diela saja.
Hari itu setelah mengisi perut mereka, mereka langsung balik kekostan mereka yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus tempat mereka kuliah.
☁🌇☁
Mizel membaca sebuah buku dimeja belajarnya yang terdapat komputer berharga jutaan rupiah tersebut.
"Oh sial, apa Diela baik-baik saja?" ucap perempuan itu menatap layar komputernya.
Sebenarnya sebelum masuk kedalam Cafe Travieso tadi, Mizel sempat mendengar Diela menjawab panggilan dari ayahnya.
"Apakah kali ini lebih buruk lagi?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri.
Walaupun terbilang sangat pendiam dan lebih cuek daripada sahabatnya yang lain, sebenarnya dilubuk hati Mizel dia cukup memperhatikan sahabatnya.
"MIZEEEELLL!!!" suara panggilan itu berasal dari Cherry yang sekarang sedang berdiri di depan pintu kamar Mizel yang hoodie ukuran big size miliknya.
Sembari menghela napas Mizel berjalan menuju pintu kamarnya dan membukakan pintu untuk Cherry yang hanya setinggi bahunya saja.
"Akhirnya dibukain juga, aku dari tadi sudah menunggumu tau ga?!" ucap Cherry dengan nada jengkel lalu masuk kedalam kamar Mizel.
Mizel yang melihat tingkat Cherry hanya memutar bola matanya lalu berbalik dan mengunci pintunya kembali.
Mizel duduk kembali dikursi gaming miliknya dan berbalik melihat Cherry. Dengan malas Mizel bertanya, "Ada apa?"
"Gapapa, jaringan di kamarku kurang bagus jadinya aku ke kamar kamu deh," balas Cherry lalu tiduran dikasur tempat Mizel mengistirahatkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMISTAD || TWICE [ongoing]
Fanfiction"Yakin masih mau pertahanin persahabatan ini? Ini mah udah hancur," Nala bertanya dengan menatap sahabatnya satu-persatu. "Kalo kayak begini terus, gue ga kuat!" lalu dia memegangi dadanya dan air mata terjun kembali kepipi melalui matanya. "Lo gila...