Entahlah, sebenarnya makna kehidupan itu apa? Untuk apa dia hidup, jika ujung-ujungnya harus menderita. Apa hidup memang seperti ini? Ada yang beruntung dan ada yang nelangsa. Ada yang hidup penuh enak dengan kekuasaan, ada yang tertindas sepertinya. Hah, memang hidup tidak ada adil-adilnya.
Shalea mengadahkan kepalanya, menatap bangunan gedung pencakar langit yang memenuhi langit kota dari tempatnya duduk. Angin lembut yang nakal mengoyangkan rambutnya, ia biarkan begitu saja.
Hari ini pulang kerja. Ia pergi berbelanja di swalayan untuk keperluan bahan masak selama seminggu ke depan. Dengan berbakal taxi. Tanpa sopir pribadi.
Argeano memang menyusahkan.
Shaela memang masih bekerja di kantor Argiano. Bagaimana pun dia harus tetap Kerja. Hidup sama apa dia jika Argeano saja tak mau memberinya uang.
Meow
Kepalanya menunduk melihat anak kucing anggora berwarna abu-abu yang tampak kotor didekat selokan. Mata kucing itu biru. Menatapnya dengan meoangan lemah. Shaela yang suka kucing, jadi tak tega dan buru-buru mengambil kucing itu.
"Kasiannya kamu."
Dibawanya kucing itu ke dalam pelukan. Makhluk ini padahal manis dan lucu. Siapa yang tega membuangnya. Melihat tidak ada kalung kucing, dia jadi berinsiatif ingin membawa.
"Kita pulang ya meow. Aku akan bersihkan dan kasih kamu makan. Tenang ya." Dielusnya lembut bulu lebat itu.
Dering telfon membuatnya merogoh ponselnya dengan malas. Melihat nama Argeano membuatnya mau tak mau mengangkat panggilan tersebut.
"Hm?"
"Di mana kau?"
"Swalayan," ketusnya.
Tut!
"Apa?" Dahi Shaela berkerut. Tak mengerti. Laki-laki itu hanya menelfon untuk itu? Dasar laki-laki nggak jelas.
"Baiklah, ayo kita pulang meow."
***
"Shaelaaa!"
"Astaga." Dia segera bangkit setelah menaruh kucing barunya yang bernama Gean. Mirip nama Argeano. Ya biar saja. Kucing itu kini sudah bersih dan sudah makan. Kini meringkuk di tengah kasur mungil dengan nyaman.
"Kau di mana?"
Shaela berdecak. Melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia berjalan malas, menghampiri Argeano yang kini berkacak pinggang dengan wajah kusut.
"Apa?"
"Kau tadi kerja?"
"Iyalah."
"Kantor Argiano?"
"Di mana lagi?"
"Besok berhenti."
Shaela melotot. "A-apa? Nggak bisa. Saya harus kerja. Enak saja. Di perjanjian nggak ada larangan kerja." Apa-apaan Argeano memintanya berhenti begitu.
Sebelas alis Argeano naik. Tatapannya seolah mengejek. "Di point nomor tiga, Suara Shaela tidak dibutuhkan. Argeano berhak sepenuhnya. Lupa?"
"Itu nggak ma-"
"Ck, saya tidak terima bantahan."
"Heh, CEO licik." Shaela berkacak pinggang. Menghentikan Argieno yang sudah berniat balik dan naik ke kamar. "Uang aja nggak dikasih. Sekarang nyuruh berhenti?"
"Terus saya peduli?"
Ia melongo. Wah benar-benar. Baru membuka mulut, suara kucing bersama dengan datangnya Gean membelai kakinya membuat perhatian keduanya beralih. Reaksi Argeano kemudian membuat Shaela tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario Pernikahan CEO Licik (Salah Akad) ✓
Romance"Kamu-" Argeano menatap tajam. Mata elangnya kini menatap penuh kemenangan Shaela yang kini meremas sisi gaun pengantinnya. Laki-laki berperawakan tegap dan tinggi itu kini mengikis jarak hingga Shaela tersudut dengan pucat. "Kamu bukan Argiano!" ge...