[38] Cari Istri Saya!

587 39 6
                                    

PONDOKAN FATIMAH AZ-ZAHRA.

Itulah nama yang dibacanya di depan gerbang hitam yang menjulang. Pandangannya menembus balik gerbang, menatap bangunan putih bersih dan dikeilingi Tanaman hijau. Di sekitarnya banyak pohon rindang dilengkapi gazebo. Lalu rerumputan yang terpotong rapi.

Tapi yang jadi fokusnya adalah perempuan-perempuan berjilbab panjang, memakai gamis dan rok. Ada yang memakai cadar. Mereka begitu sibuk dengan sebuah al-quran, salah satunya perempuan yang tengah menggenggam Al-qurannya dengan mulut bergerak. Ada yang duduk di hamparan rumput tertawa riang dan ada yang tengah berjalan sendiri dengan sebuah buku, lalu ada yang melintas.

Shaela tersenyum kecut.

Belum pernah seumur hidup ia mendatangi tempat ini. Tatapannya jatuh pada pakaiannya yang hanya mengenakan kaus polos hitam dilapisi kemeja sebagai luaran dan celana jeans krem. Sedang rambutnya kini tergerai.

Oma salah menyuruhnya ke sini. Ia tak pantas. Shaela menatap sejenak mereka, lalu menarik kembali kopernya untuk pergi. Dia tidak mungkin berada di sana.

“Nak?”

Namun nada lembut itu membuat langkahnya terhenti. Shaela menoleh. Seorang wanita dengan wajah teduh kini menatapnya dengan senyum hangat. Perempuan yang Shaela tebak sudah berumur lima puluh tahun itu kini tampak begitu anggun dengan gamis putihnya.

“Kenapa balik?”

“Saya …” Bingung. Shaela menyerahkan alamat yang pernah dicatat Oma, lalu mengeluarkan sebuah foto. Di sana ada foto Oma dengan seorang wanita muda, mirip sekali dengan perempuan dihadapannya.

“Saya … cucu wanita yang ada di sini. Oma saya. Anda Umi Zahra?”

Umi Zahra yang disebut Shaela itu kini menutup mulutnya terkejut, menatap kembali Shaela. 

“Oma pernah bilang dulu jadi Donatur di sini dan dekat dengan Umi Zahra yang sudah Oma anggap anakknya. Oma meminta saya ke sini.”

Angin berhembus, menerbangkan hijab Umi Zahra dan rambut Shaela. Umi Zahra tampak begitu bahagia, mendengar nama Oma, matanya berbinar. “Masya Allah, iya saya Umi Zahra. Sangat mengenal Oma. Beliau memang donatur di sini, Nak.  Oma bagaimana? Sehat?”

Pertanyaan dengan Senyum lebar dan tatapan penuh kerinduan itu nyatanya membuat sorot Shaela menyendu. “Oma sudah meninggal baru-baru ini.”

“Innalilahi …”

Shaela tersenyum tipis. “Untuk itulah saya ke sini, Umi.”

“Kita masuk dulu ya.”

***

Di ruangan bernuansa putih berpadu abu-abu. Tidak terlalu luas, juga tidak kecil. DI tengah ada sofa putih yang saling berhadapan. Di salah satunya, Shaela duduk seraya menggenggam jari jemarinya. Tatapannya menyapu sekitar, termasuk sebuah figura lama yang ada Oma di sana bersama banyak perempuan berhijab  panjang yang dia lihat tadi.

“Itu foto 20 tahun lalu. Terakhir Oma ke sini.”

Shaela menoleh. Umi Zahra baru kembali dari pintu lain membawa secangkir teh dan kue basah. Beliau melempar senyum, ikut bergabung duduk di sofa berhadapan.

“Diminum dulu, Nak.”

Shaela tersenyum kecil, mengangguk.

“Umi boleh tahu, namanya siapa?”

“Shaela. Umi panggil saya Shaela.”

Umi mengangguk. “Umi baru kali ini lihat Shaela. Shaela belum pernah ke sini?”

“Saya tinggal di Jakarta Umi, ini pertama kalinya.”

“Apa yang membawa Nak Shaela ke mari? Insya Allah akan Umi bantu.”

Skenario Pernikahan CEO Licik (Salah Akad) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang