29

236 27 9
                                    

“Daf, nanti malam aku izin keluar.”

Hening

“Daf.”

“Terserah!” ketus Dafa dan beranjak menuju kamar.

Bu Atih, selaku pembantu yang bekerja di rumah Deva sejak Deva kecil melihat sikap Dafa yang kurang enak di lihat, “Non Deva,” lirihnya.
Deva tersentak, “Bu Atih.”

Deva memanggil dengan sebutan Ibu, karena udah menganggap Ibu Atih seperti Ibu nya. “Non, apa Den Dafa setiap hari bersikap seperti itu?”

“Enggak Bu, mungkin Dafa Cuma capek jadi gitu,” bohong Deva.

“Bener Non?”

“Iya Bu, Dafa itu baik banget sama aku, buktinya saat aku sakit Dafa yang rawat aku.”

“Jadi Ibu gak usah khawatir ya,” lanjutnya yang di angguki Bi Atih.

“Non, kalau ada apa-apa cerita sama bibi ya, bibi udah anggap non seperti anak bibi sendiri,” ucap bi Atih. Deva tersenyum dan memeluk Bi Atih.

“Hiks .. Bu Atih pun udah aku anggap sebagai ibu aku lagi, jadi Deva minta jangan panggil Non, panggil Nak Deva ya Bu,” pinta Deva.
**
Gara sedari tadi sedang mencari baju yang cocok untuk di pakai saat bersama Deva nanti, padahal mereka pergi nanti malam, namun Gara sudah heboh dari sepulang sekolah memikirkan baju yang cocok untuk dirinya.

Sampai-sapai orang tuanya di buat terkejut saat melihat pesanan Online yang di bawa asisten rumahnya saat pesanan datang, sekarang pun kamar Gara sudah berantakan karena baju sudah berceceran dimana-mana.
“Ini, atau ini ya.”

Gara melihat baju berwarna merah Maron dan hitam. “Em ... kira-kira Deva pakai baju apa ya?”

“Terus ... warna bajunya juga apa ya?”

Gara berpikir. “Baju putih sama jas hitam aja kali ya.”

Gara tersenyum-senyum sendiri. “Kok gue jadi kayak cewek yak, Cuma pilih baju lama banget, perasaan pergi nanti malam tapi malah heboh sekarang.”

‘Hatiku merasakan sesuatu yang tak pernah ku rasakan sebelumnya, setiap melihatmu begitu membuat hatiku bagagia, mampukah aku memilikimu.’
**
“Kenapa masih di sini!”

Aksa, sekarang sedang memarahi orang yang sudah ia pecak. “Saya bilang kan lo udah gue pecat!”
“Den, maafkan saya.”

“Gak! Saya minta sekarang angkat kaki dari sini! Gue bisa cari pembantu yang gak ceroboh dan lancang membuang foto milik saya!”

“Maaf Den, saya pikir foto itu sudah gak tersimpan lagi, karena saya lihat di lantai, dan fotonya juga sudah rusak.”

“Rusak atau gak lo udah lancang membuang foto itu!”

Tampa menunggu Aksa langsung masuk dan menutup pintu dengan kasar, semua yang berada di dalam pun terlonjak kaget dan langsung berhamburan mengerjakan pekerjaannya yang tadi sempat menguping pembicaraan di luar.  

Aksa langsung menuju kamarnya untuk beristirahat, hari ini begitu menyebalkan. Ia ingin sekali segera berkumpul dengan sahabatnya, ia sangat  merindukan semua tentang sahabatnya itu, ia berkali-kali berharap akan segera bersama seperti dulu lagi.

“Ken, gue pastiin kita akan bersama.”

Aksa langsung mendudukkan dirinya di sofa panjang yang berada di kamar.

“Gue harap orang tua gue bisa menyelesaikan masalahnya agar tidak ada kesalah pahaman.”

Orang tua Aksa sudah hampir tiga minggu selalu bertengkar, itu yang membuat dirinya makin pusing, dulu saat masih ada sahabatnya dia selalu berhasil membuat orang tuanya akur kembali dengan cara-caranya yang unik.

Pernah, saat orang tua Aksa bertengkar sahabatnya pura-pura pingsan dan kesakitan dan meminta orang tua Aksa berbaikan dan menyelidiki orang yang mengadu domba, hingga akhirnya mereka menemukannya. 

Dia jadi merindukan masa kecilnya dulu, ia ingin kembali dimasa itu, namun itu sanggatlah tidak mungkin, saat Aksa mengingat masa kecilnya Tampa sadar ia tertidur di sofa dengan keadaan duduk dan tubuh menyender ke belakang sofa.

**
“Li,” panggil seseorang yang tak lain adalah Adit. Ali yang namanya di panggil hanya berdehem dan menaikkan satu alisnya seakan ia beranya ‘Apa?’

“Menurut lo Dafa suka gak sama Deva?”

Ali yang memainkan Hanpone menaruh di atas meja dan menatap sekilas Adit yang berada di sampingnya. “Mungkin.”

“Mungkin apa?”

“Mungkin suka mungkin enggak.”

Adit memutar bola matanya malas. “Dih, gue serius juga!”

“Gue juga serius! Bisa iya bisa enggak!”

“Oya, ngomong-ngomong kok gue gak lihat bokap nyokap lo?” tanya Ali.
“Mereka sibuk sama kerjanya di luar kota.”

Ali hanya mengangguk. “Lo gak ajak Dafa juga menginap di rumah lo?”

“Gue udah telepon dan kirim pesan berkali-kali tapi tidak ada respons sama sekali.”

Ali mengangguk, ia paham pasti masalah saat di kantin dan roofpot belum selesai, di tambah yang katanya berantem. Itu membuat mereka menjadi menjauh.

‘Gue harus cari ide buat mereka gak musuhan,’ batin Ali.

Namun ... apa yang akan di rencanakan Ali? Apa yang akan Ali lakukan agar Dafa dan Adit tidak bermusuhan? Mungkin ini sangat sulit jika ia harus sendiri yang memikirkan, apa lagi ia mengakui otaknya susah untuk berpikir.

“Dit, lo tapi gak benar suka sama Deva kan?” tanya Ali mencoba memastikan.

Tidak ada jawaban dari Adit, ia fokus ke benda yang sedang di peganya saat ini. Ali yang bertanya namun tidak ada respons membuat geram. “Dit.”
Tetap sama tidak ada jawaban.

“Hanpone lo taroh dulu! Gue nanya lo gak benar sukakan sama Deva?”
Adit melirik. “Lo gak perlu tau!”

“Gue perlu tau! Karena ini menyangkut persahabatan kita bertiga!”

“Dih, kalau gue suka benaran kenapa?”

“Lo berarti nikung Dafa!”

“Memang Deva siapanya Dafa? Apa lo pernah lihat Dafa baik sama Deva? Apa lo pernah lihat Dafa perhatian sama Deva? Gak kan! Lo Cuma lihat Dafa membuat Deva menjadi bullyan!”

Ali hanya diam, dirinya tidak bisa berkata apa-apa. Karena apa yang di ucapkan Adit memang benar adanya. Memang sih apa yang di lakukan Dafa itu sangat keterlaluan. Namun ... tidak ada yang berani membantah atau orang yang berani melarang atas tindakan di sekolah.

“Tapi ... lo benaran suka sama Deva?”

Adit menatap datar Ali. “Lo gak perlu tau!”

Saat ini Deva sedang berada di halaman rumah, ia sedang melihat motor yang baru saja datang, Deva tersenyum kecil. “Mulai besok udah bisa pakai kendaraan sendiri.”
Seseorang yang sedang duduk di balkon kamarnya? Sedang melihat bintang-bintang, dia adalah Rani, sahabat Deva. “Dev, semoga lo secepatnya bertindak agar Dafa sadar.”

Rani menghela napas, ia berpikir jika ada di posisi Deva ia pasti tidak sanggup. Entah lah dirinya akan melakukan apa, jika berada di posisi seperti Deva.

“Gara! Dia dekat dengan Deva, kemungkinan Gara suka, itu bisa menjadi orang yang bisa bikin Dafa cemburu.”

“Semoga aja Dafa akan sadar, jika apa yang di lakukan sangat menyakiti Deva dan akan berusaha membuat Deva bahagia karena dirinya bukan orang lain.”

Sejatinya cinta itu datang karena berjalannya waktu, hanya saja terkadang kita yang enggan membuka hati dan tak menyadari jika cinta itu telah ada, sehingga harus ada seseorang yang menyadarkan dan mengakui ‘Aku telah jatuh cinta’

  Jangan jadi pembaca gelap yaaa comment dan votenya jangan lupa hihi
 

Marriage Hurdle(On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang