Dua Puluh Satu

64 7 3
                                    

"Ngapain lo?" tanya seseorang yang berhenti di depan mobil Gibran. Merasa ditanya, Gibran pun menoleh. Kenapa harus dia sih? batin Gibran. Sosok di hadapannya ini adalah Naga, pacar Valerie.

"Mogok." Naga mengisyaratkan Gibran untuk bergeser. Laki-laki itu mengecek sembari sesekali mencoba membenarkan. Dilihat dari sisi Gibran berdiri saat ini, memang Naga terlihat keren. Pantes Valerie suka, batin Gibran.

"Gabisa ini Gib, harus dibawa ke bengkel. Bentar gue minta tolong temen gue." Gibran hanya mengangguk nurut.

Beberapa menit menunggu, akhirnya mobil derek pun datang. Naga mengantar Gibran sampai ke rumah. Awalnya Gibran enggan, namun sinar matahari sedang terik. Oleh karena itu daripada harus menunggu jemputan, ia memutuskan untuk nebeng Naga. Gengsi sih, tapi ya sudahlah.

Hanya suara radio mobil yang menemani keduanya. Di antara Gibran dan Naga tidak ada yang bersuara. Naga fokus menyetir dan Gibran sibuk makan burger milik Naga. Tidak tau diri memang.

"Lo suka ya sama Valerie?"

"UHUK!" Gibran kaget dengan serangan dadakan Naga. Ia mengambil air mineral yang berada di dashboard mobil dan segera menegaknya. Ia melirik ke arah Naga sambil menetralkan pernafasannya.

"Kalau gue jawab iya gimana?" respon Gibran.

"Ya gapapa. Kalau lo suka sama Valerie ya itu hak lo. Gue udah dapetin Valerie, mau apa lo?" kekeh Naga.

"Si kampret." Menang start kalah final ini mah namanya, batin Gibran.

"Valerie sering cerita tentang kalian bertiga. Dia sayang banget sama lo pada, dulu dia sempet suka sama abang lo tapi dia-"

"Stop jangan diterusin. Sakit hati gue," canda Gibran dengan raut wajah sok tersakiti.

Naga terbahak melihat respon Gibran. Sengaja ia memanas-manasi temannya tersebut. Beruntung, Naga merupakan tipe laki-laki dewasa yang tidak terpengaruh dengan masa lalu pacarnya.

"Kalau gue lamar dia tahun depan gimana?" Mendengar itu, Gibran menoleh dengan cepat.

"Lo seserius itu?" Naga mengangguk. Memang jika dilihat, Naga hampir seumuran dengan Gabrel. Bahkan sepertinya lebih.

"Ngga usah gila, dia aja masih kuliah."

"Kata siapa? Dia anak akselerasi waktu SMA dan sekarang udah selesai studi." Naga tersenyum tipis.

"Ya tetep ngga bisa gitu dong. Lo mau kasih Valerie makan batu?"

"Gue sekarang lagi ngejalanin bisnis, bukan milik keluarga. Milik gue, hasil keringat gue sendiri dan gue yakin seiring bertambahnya waktu bakal lebih dari sekarang. Di luar itu, tabungan gue jika ditotal cukup buat hidup sepuluh tahun ke depan. Sisanya gue bakal usaha."

Gibran hampir tidak percaya dengan semua pernyataan Naga. Sematang itu kah?

"Yaudah, terserah lo."

Mobil berhenti di depan gerbang rumah milik Gibran. Naga memutuskan untuk langsung pulang, ia juga meminta kontak Gibran untuk memberi tahu informasi perihal mobil yang sedang di bengkel.

***

Marsya memencet bel rumah Vito sekali lagi. Sudah belasan kali Marsya memencet bel namun tidak ada respon dari sang pemilik rumah. Raut wajahnya menunjukkan kalau dirinya sedang khawatir. Belasan kali juga ia menelpon kekasihnya namun tidak diangkat. Jika dilihat dari keadaan rumah yang gelap, sepertinya Vito sedang pergi.

Marsya kembali membuka ponselnya, ia mencari kontak seseorang yang tadi memberi informasi kepadanya perihal Vito yang seperti kesetanan. Sembari merapatkan jaketnya, Marsya menelpon orang tersebut. Sama saja, tidak diangkat. Malam semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Gelapnya malam dan sepinya jalanan tidak membuat Marsya gentar, rasa khawatir lebih mendominasi dari pada rasa takutnya.

Vito tinggal sendiri, orang tuanya memberikan sebuah rumah kepadanya sejak satu tahun yang lalu. Dengan adanya rumah tersebut, diharapkan Vito dapat mandiri dan tanggung jawab. Tinggal sendiri saat umur sudah lebih dari 18 tahun merupakan tradisi yang selalu diterapkan di keluarga besar cowok tersebut.

Suara motor mendekat mengalihkan perhatian Marsya. Matanya sedikit menyipit kala cahaya lampu motor menusuk matanya. Vito turun dan membuka helmnya kasar. Marsya yang melihat Vito berjalan sempoyongan pun segera membantu cowok itu.

"Kamu dari mana?" tanya Marsya. Ia meraih lengan Vito yang langsung dihempaskan membuat perempuan tersebut mundur beberapa langkah.

Vito yang sedang berusaha fokus untuk membuka pagar rumahnya pun gagal karena kuncinya jatuh. Tangannya tremor dan fokusnya hilang. Marsya mendekat dan membantu Vito membuka pagar. Cowok itu masuk dengan sempoyongan dan meninggalkan motornya begitu saja, ia tidak peduli. Tanpa banyak bicara Marsya membantu Vito sampai ke dalam rumah. Sesampainya di ruang tengah, Vito segera membuka laci dimana obat diletakkan. Vito mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya. Ia terus mengobrak abrik laci tersebut namun nihil, ia tidak menemukan obat yang dicarinya.

Marsya panik melihat betapa kacaunya Vito. Ia berusaha menenangkan Vito tapi lagi-lagi tubuhnya terpental ke lemari kaca akibat dorongan Vito. Tidak cukup di situ, kini Vito mencengkeram erat rahang Marsya membuat Marsya tidak dapat berkutik.

"Sadar, aku mohon," gumam Marsya tepat di hadapan Vito. Cowok tersebut sudah hilang kendali, tangannya beralih mencekik leher Marsya. Tatapan matanya berubah menyeramkan. Nafasnya pun memburu, tidak stabil. Kedua tangan Marsya mencoba meraih wajah kekasihnya. Ia membelai lembut, berusaha menyadarkan meskipun ia sudah tidak dapat bernafas sekarang. Tidak lama kemudian, Vito melepaskan cekikannya dan luruh ke lantai. Kepalanya kembali pusing dan pandangannya kabur.

Setelah mengatur pernafasan, Marsya membuka laci satu persatu. Ia menemukan obat itu di laci bawah. Dipangkunya kepala Vito agar cowok tersebut mudah menelan obatnya.

Napas Vito berangsur stabil setelah mengkonsumsi obat, akan tetapi matanya masih terpejam. Marsya mengusap peluh di dahi kekasihnya, dirinya sangat takut. Di saat penyakit seperti ini kambuh, Vito akan hilang kendali. Merusak barang bahkan kadang tidak sadar melukai orang di sekitarnya. Orang tua Vito tidak tahu akan penyakit anaknya, hanya Vito, Marsya, dan satu teman Vito yang tau. Sudah berkali-kali Marsya membujuk pacarnya untuk berobat ke rumah sakit dan berhenti mengkonsumsi obat-obat tadi namun Vito enggan. Hal itu lah yang membuat Marsya sering di ambang kekhawatiran.

Vito membuka perlahan kelopak matanya. Ia meringis sebentar sebelum bangkit untuk duduk.

"Masih pusing?" tanya Marsya. Vito menggeleng pelan. Ia melihat pipi Marsya yang merah. Diusapnya pipi tersebut.

"Aku nyakitin kamu lagi?" Tatapan Vito berubah sendu. Marsya memegang tangan Vito yang berada di pipinya dan tersenyum.

"Enggak. Aku lebih khawatir sama keadaan kamu. Kita ke dokter yaa?" Vito tidak menjawab. Ia menatap dalam kedua mata Marsya, direngkuhnya perempuan tersebut ke pelukannya.

"Maaf."

***

3 Oktober 2021

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang