Tujuh

114 22 5
                                    

Enam motor dengan arogannya membelah jalanan yang cukup lenggang di waktu malam. Hanya ada satu dua kendaraan lain sehingga mereka leluasa menarik gas motornya.

Di jalan yang cukup sepi, Marchel menunjukkan aksi berdiri di atas motornya beberapa saat. Mereka saling melempar kode jika sebentar lagi akan melewati terowongan.

Mereka melaju kencang kemudian saat memasuki terowongan, dengan kompak mereka menurunkan gigi dan mengatur suara motor sehingga terdengar bunyi Brataktaktak yang cukup nyaring.

Keluar dari terowongan, semua tertawa. Mentertawakan tingkah mereka masing-masing dan memperlambat laju mereka. Menikmati suasana dinginnya udara malam. Tanpa diduga, motor yang dikendarai Gibran bergoyang tidak stabil. Ternyata bannya bocor. Ia memberhentikan motornya ke samping jalan dan diikuti yang lainnya.

"Bang kayanya ini karma gara-gara ngibul sama mama papa, deh," celetuk Gabrin.

"Ngibul apa emang Ga abang, lo?"

***

Gaga yang buka pintu, dirinya pula yang menutup. Sudah hal biasa. Abangnya itu arogannya tidak ada obat, hanya menutup pintu pun tidak mau. Selagi ada Gabrin mengapa dirinya harus turun tangan? Begitu prinsipnya.

"Laundry sepatu udah pindah perempatan mekah?"

Gabrin yang mendengar suara tersebut pun pura-pura mengancing pintu tanpa menoleh. Biarkan abangnya yang mengatasi. Suruh siapa pakai alasan ke laundry sepatu.

"Apa? Nunggu tukang laundry nya nyuci?" tambah Endra. Sudah hafal dengan alasan absurd anak keduanya.

"Gak gitu, Pa. Tadi-" Gibran menimang-nimang alasan yang tepat. Tidak mungkin dirinya jujur nightride, bisa tambah murka bapak di hadapannya ini.

"Papa kok belum tidur?" sela Gabrin. Endra menatap anak bungsunya.

"Gaga, jujur sama papa. Darimana kalian?"

"Dari laundry sepatu kok, Pa. Tadi motornya sempet bocor, harus dibawa ke bengkel. Makanya lama." Bagus, Gabrin sudah tertular virus ngibul Gibran.

Endra menatap keduanya kemudian mengangguk pelan. Gibran menyenderkan tubuhnya ke sandaran belakang sofa sembari bersidekap dada.

"Benerkan, Pa. Papa mah suudzon mulu kalau sama Gibran," sewot Gibran. Dan hanya dibalas tepukan di pundaknya.

"Gaga sama abang ke atas ya, Pa." Endra lagi-lagi mengangguk.

Sesampainya di kamar Gibran, Gabrin menyipitkan matanya menatap abangnya.

"Ilmu ngibul lo udah luntur, Bang?" Gibran menghempaskan tubuhnya ke kasur miliknya.

"Mau gue jelasin sampe rumah pak haji juga papa ga bakal percaya," jawab Gibran santai. "Lagian kan sekarang lo udah mewarisi aji-aji ngibul gue. Sebagai kacung lo yang bertanggung jawab. Majikan terima beres."

"Udah ah, mau tidur sama Bang Gabrel aja," ucap Gabrin.

Saat sedang menuju kamar Gabrel, mata Gabrin tidak sengaja melihat ruang kerja papanya masih terbuka. Tandanya papanya masih berada di dalam.

"Bang Gabrel, udah tidur?" Gabrin mengetuk pelan pintu kamar abang sulungnya.

"Masuk aja, Ga," jawab Gabrel dari dalam. Tanpa babibu Gabrin segera masuk. "Kenapa?"

"Mau tidur disini." Gabrel yang sedang sibuk dengan laptopnya mengangguk.

Gabrin merebahkan tubuhnya disisi ranjang milik Gabrel. Memainkan ponselnya sebentar sebelum kembali menatap Gabrel.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang