Sebelas

48 14 5
                                    

Sudah seminggu Gibran bekerja. Kalau bukan karna kepepet Gibran pasti tak akan mau bekerja part time seperti sekarang. Tapi Banyak hal juga yang ia jadikan pelajaran dalam seminggu ini. cukup sulit memang, namun ketika ia menjalani dengan tulus semua tak terasa.

Beruntung hari ini pelanggan tidak terlalu banyak sehingga Gibran bisa sedikit bersantai. Mau banyak atau sedikit pelanggan, gaji tetap tidak berubah. Jadi demi kebaikan bersama Gibran selalu berdoa semoga pelanggan tidak membeludak.

"Gib!" panggil karyawan yang bertugas di kasir. Gibran yang sedang membersihkan meja pun menoleh. Ia menaikan sebelah alisnya tanda bertanya. "Gantiin gue sebentar dong. Gue mau boker bentar. Dah di ujung nih."

Melihat komuk temannya tersebut, Gibran pun mengangguk. Dirinya berdiri di kasir yang kebetulan terdapat customer yang ingin membayar.

"Meja nomor 5. Total berapa?"

"Totalnya dua ratus tiga pul-" Gibran menghentikan ucapannya. "Val?"

"Gibran? Wow."

***

Gibran duduk berhadapan dengan seseorang yang sudah lama tidak hadir di hidupnya. "Lo apa kabar?"

"Seperti yang lo liat. Gue baik-baik aja. Lo kerja disini?" Gibran mengangguk. Seseorang dihadapannya ini adalah Valerie, satu-satunya teman perempuan yang ia punya. Ia dan Valerie selalu bersama dan berpisah ketika SMA. Valerie harus melanjutkan ke luar negeri, mengikuti kemauan orang tuanya.

"Gaga apa kabar?" tanya Valerie atau yang lebih akrab disapa Val.

"Baik dia. Masih kaya dulu," jawab Gibran. "Bentar ya ada pelanggan."

Valerie melihat jam di pergelangan tangannya, ia harus pulang. Gibran masih sibuk melayani pelanggan, Valerie memutuskan untuk pergi tanpa pamit kepada Gibran. Gibran melihat meja yang ia dan Valerie tempati sudah kosong. Ada sedikit rasa kecewa (?). Gibran melihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul lima. Tandanya shift nya sudah selesai. Ia mencopot apron yang ia pakai dan mengambil tas nya kemudian pamit kepada atasan.

Gibran masih tidak percaya, dirinya bisa bertemu kembali dengan Valerie. Bibirnya melengkung ke atas di balik helm yang ia pakai. Sesampainya di rumah, Gibran segera membersihkan diri dan pergi ke kamar Gabrin. Sudah lama rasanya ia membiarkan Gabrin hidup damai. Gibran masuk dan mendapati Gabrin sedang memangku Guguk sembari menyisir bulu peliharaannya tersebut. Ia menghempaskan tubuhnya ke samping Gabrin.

"Ga,"

"hmm."

"Lo inget Val ngga?"

"Val siapa dah? Valaq maksud, lo?" Gibran dengan gemasnya menoyor kepala Gabrin.

"Valerie. Pujaan hati gue," jawab Gibran dengan nada bahagia. Sedari tadi dirinya tidak dapat menahan senyum. Gabrin menatap abangnya horor.

"Idih-idih, najis. Geli gue. Sok-sokan pujaan hati. Belum nembak aja udah ditolak," cibir Gabrin. Gibran menatap Gabrin datar.

"Itu bukan ditolak namanya. Kan gue belum nyatain perasaan gue. Dia aja dulu yang kepedean."

Gibran mengingat momen pada saat ia, Gabrin, dan Val duduk bertiga di warteg. Iseng Gibran bertanya kepada Valerie perihal cowok idamannya. Namun jawaban Valerie pada saat itu mampu membuat Gibran mati kutu.

"Apaan dah tanya begituan. Oh jangan-jangan lo suka sama gue ya? Lo mau nembak gue? Aduh Gib mending gausah deh, ngga kuat gue kalau liat lo gantung diri gara-gara di tolak," jawab Valerie terbahak. Pastinya ia bercanda. Ia tau watak dua cecunguk di hadapannya ini. Tidak bisa serius.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang