Dua Puluh Tiga

39 3 3
                                    

Malam ini bulan tidak ingin berbagi sinarnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan akan terus berjalan tanpa henti. Di sudut kedai, seorang remaja masih duduk termenung dengan sebatang rokok yang terselip di jarinya. Setelah bertemu dengan Geni tadi, Gibran tidak langsung pulang. Banyak hal yang laki-laki itu pikirkan. Bukan hanya akhir-akhir ini saja papanya bersikap seperti tadi. Gibran sudah sering merasakannya namun ia pendam. Entahlah Gibran tidak mengerti kesalahan apa yang dulu Gibran perbuat sehingga papanya sebenci itu dengan dirinya. Gibran tidak dapat membenci papanya karena di benak Gibran hanya ada kehangatan yang papanya berikan.

Sebuah pesan dari Gabrel membuyarkan lamunan Gibran.

Dimana?

Lagi ketemu temen, kenapa?

Gue susul, dimana?

Kedai biasa.

Setelah membalas pesan tersebut, Gibran meletakkan ponselnya ke meja di hadapannya. Ia buang putung rokok yang masih tersisa setengah. Sekitar lima belas menit kemudian Gabrel datang menghampiri sang adik.

"Mana temen, Lo?"

"Udah balik dari tadi. Kenapa?"

"Gapapa. Pesenin minum dong, kering nih kerongkongan gue." Gabrel mengambil sebatang rokok Gibran yang ada di atas meja kemudian ia selipkan ke bibirnya. Gabrel dengan santai membakar ujung tembakau tersebut.

"Papa udah tidur." Tanpa diminta Gabrel memberi informasi ke adiknya yang baru saja kembali ke tempat duduknya. Gibran hanya diam tidak merespon.

"Tadi mama cerita kalau dia akan ada projek pameran di Jogja minggu depan. Ikut ngga, Lo?" tawar Gabrel.

"Ikutlah," sahut Gibran cepat. Gabrel mengangguk menanggapi.

"Tumben lo jarang motoran sama temen-temen lo, ada masalah?"

"Engga juga. Udah pada sibuk sama kegiatan masing-masing sekarang. Banyak yang baru lulus, masuk kerja, atau sama kaya gue. Lagi mumet sama tugas." Gibran menyeruput minuman yang ada dihadapannya.

Sudah lama sekali Gibran tidak duduk berdua dengan abangnya seperti ini. Dari dulu Gabrel merupakan sosok abang yang selalu mengalah dengan adik-adiknya. Gabrel tidak pernah bersikap tidak adil. Selalu adil meskipun harus mengorbankan dirinya.

"Lo kalau ada apa-apa cerita sama gue, Gib. Jangan sampai orang lain tahu terlebih dahulu dibanding gue, abang lo," tutur Gabrel masih dengan mulut yang penuh asap. Suara ketukan meja yang berasal dari jemari Gibran mengiringi percakapan keduanya. Gibran sedang berfikir. "Lo lagi ada masalah sama, Papa?"

Gibran mengentikan ketukan jarinya, "Mungkin, gue tau Papa selalu bersikap beda dari dulu tapi ngga seterang sekarang. Dalam Pertengkaran Mama sama Papa selalu terselip nama gue buat gue bingung, Bang. Papa kok kayanya benci banget ya bang sama gue."

Gabrel hanya diam, membiarkan sang adik menumpahkan keluh kesahnya. Gabrel sangat tau perasaan Gibran saat ini. Dirinya saksi semua itu tapi Gabrel belum siap untuk menceritakan secara langsung kepada Gibran.

"Gue kaya ngga tau diri banget cerita begini ke lo, Bang. Lo juga pasti capek, dari dulu dididik untuk bisa seperti Papa. Tekanan lo pasti lebih berat ya, Bang?"

"Iya," sahut Gabrel.

Gabrel tidak mengelak ucapan Gibran. Memang benar dari dulu dirinya dituntut untuk jadi sosok yang tangguh dengan harapan menjadi penerus sang Papa. Bahkan jurusan kuliahnya pun sudah ditentukan. Gabrel tidak protes dengan semua itu, ia bersyukur mungkin ini cara Papa mengenalkan dunia kepadanya. Tak urung ada waktu Gabrel ingin menyerah namun tidak berangsur lama. Dia akan kembali ambisius ketika membayangkan apa yang akan ia capai.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang