Sembilan Belas

51 8 0
                                    

Memasuki musim kemarau, atmosfer di luar rumah cukup membuat siapa pun merasakan gerah. Sama hal nya dengan Gibran dan Gabrin yang sedang berada di Bandara. Begitu Gabrel dan papanya memasuki ruang tunggu, keduanya beranjak pulang. Siang ini sinar matahari sangat terik. Mega memakai kaca mata hitamnya saat mengendarai mobil yang ditumpangi dirinya dan kedua anaknya. Gibran malas menyetir dengan alasan pening menyerang. Ia duduk di kursi depan sedangkan Gabrin duduk di kursi belakang.

"Bang Gib, ambilin tisu. Gerah banget padahal cuma sebentar di luar."

"Gaga, biasain bilang tolong," ujar Mega memberi nasehat.

"Bang Gibran, tolong ambilin tisu." Gibran mengulurkan tangannya ke belakang tanpa mengubah pandangannya. Ia duduk bersender dan mengecilkan AC mobil.

"Mama, laper." Gibran merengek dengan raut wajah memelas seperti tidak makan seminggu. Pantas saja dari tadi diam tidak bertingkah.

Mega membelokkan mobilnya ke restoran ayam cepat saji. Gabrin turun dan membenarkan letak topinya. Mega turun disusul Gibran. Cowok tersebut merangkul Gabrin sebelum mengikuti mamanya masuk ke dalam.

Gibran dan Gabrin duduk di salah satu meja yang tidak jauh dari kasir, sedangkan Mega sedang memesan dan menunggu makanan saji. De javu, itulah yang Mega rasakan saat ini. Dulu saat tiga anaknya masih kecil, Mega sering mengajak mereka ke sini. Hanya sekedar mencari udara segar dan memberi ruang kepada anak-anaknya untuk berbagi cerita tentang hari mereka.

Di sisi lain, Gabrin tak sengaja melihat Gibran sedang menggulir media sosial milik Valerie.

"Bang Gib, gue udah delapan belas tahun," ujar Gabrin tiba-tiba.

"Udah tau."

"Sekarang gue udah bisa nasehatin lo." Gibran meletakkan ponselnya di atas meja dan membenarkan posisi duduknya. "Kalau gue perhatiin nih yaa. Lo itu sebenarnya ngga cinta sama Ka Val."

"Idih, sok tau." Gibran memoles kepala Gabrin gemas.

"Selama ini lo ngga pernah nyinggung soal dia. Kadang lo kalau ngga diingetin soal dia juga lo lupa. Menurut gue lo itu cuma suka. Maksud gue sekedar mengagumi. Coba lo pikir waktu terakhir ketemu sama Ka Val? Reaksi lo sama pacar Ka Val menurut gue biasa aja. Lo enjoy sama orangnya. Setau gue, orang yang sedang kebakaran jenggot itu tidak bisa dengan sekejab bersahabat dengan pematik. Nyatanya lo haha hihi aja, tuh. Tapi itu menurut gue aja, sih. Gue kan gatau isi hati lo gimana. Siapa tau lo aslinya homo."

Gibran menatap Gabrin tak percaya. Bagaimana bisa adik kecilnya itu tiba-tiba menjadi penasehat? Meskipun Gibran ingin tertawa karena melihat mimik serius Gabrin, namun otaknya meresapi kalimat demi kalimat yang Gabrin lontarkan.

"Ngobrolin apa sih sampai serius gitu?" Mega dan satu pelayan datang membawa aneka ayam goreng. Gibran membantu mamanya meletakkan di meja. Restoran tersebut merupakan restoran self service dimana kita sendiri yang mengambil dan merapikan makanan. Tapi karena yang dipesan Mega banyak, ia dibantu oleh satu pelayan.

"Mama datengnya telat. Gaga tadi ajaib banget tiba-tiba jadi serius." Gabrin menatap malas abangnya.

"Beli banyak banget, ma. Mau hajatan?" Gabrin menatap makanan dari ujung meja ke ujung meja lainnya.

"Gapapa sekali-kali. Udah lama ngga makan begini bareng-bareng. Mama kangen."

Gibran menatap mamanya yang sedang sibuk mengatur meja. Ada raut penyesalan di mata wanita tersebut. Meskipun Gibran sering membangkang orang tuanya tapi di lubuk hatinya ia tidak tega melihat kesedihan mereka.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang