Seminggu setelah pulang dari Kota Pelajar, semua kembali ke kegiatan masing-masing; bekerja, kuliah, dan juga sekolah. Gibran yang sedang mengerjakan tugas di perpustakaan kampus terkesiap ketika temannya menepuk pundaknya sebelum duduk di kursi kosng di samping. Gibran yang paham gerak-gerik teman sekelasnya itupun bertanya.
"Ada apa?" Pandangannya kembali fokus ke laptop di hadapannya."Lo udah denger kalau anak-anak kampus akan turun ke jalan, Gib?" Gibran menoleh sebentar.
"Perkara politik itu?"
"Yoi, lo ikut kan?"
"Kapan emang jadinya?"
"Lusa. Dari jam 7 pagi kita gerak. Kabarin ya Gib semisal lo mau ikut. Biar nanti gue kasih tau anak kelas." Gibran mengangguk santai kemudian temannya itu berjalan keluar.
Sebetulnya Gibran kurang berminat dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa turun ke jalanan. Namun sepertinya Gibran mulai tertarik untuk ikut kali ini. Toh cuma sehari kan?Perut Gibran tiba-tiba berbunyi minta diisi. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin untuk membeli makan. Di jalan dirinya berpapasan dengan Geni, mahasiswi yang satu projek dengannya.
"Beli apa itu?" tanya Gibran sok asik.
"Batagor, mau?" Gibran menggelengkan kepalanya kemudian cabut ke stal bakmi yang biasa ia beli. Setelah sepiring bakmi didapat, ia duduk satu meja dengan Geni.
"Lo ngga pengen pulang Semarang?"
"Libur semester kayanya aku pulang. Lihat situasi sama kondisi juga, Gib." Gibran hanya diam mendengarkan. "Semisal nanti ada rejeki lebih ya pulang, tapi semisal ngga pulang juga ngga papa, sih."
"Nanti kerja?" tanya Gibran.
"Kerja, kenapa Gib?"
"Oke, kayanya nanti gue bakal main ke kedai tempat lo kerja."
"Dateng aja nanti." Setelah menyelesaikan makannya, Gibran pamit untuk ambil kelas selanjutnya.
Di lain tempat, Gabrin sedang sibuk di lapangan. Masih mengenakan jersey basket, ia dan teman-temannya duduk di bangku penonton sembari istirahat. Jam sudah menunjukkan pukul dua dimana satu jam lagi mereka sudah boleh pulang. Selama seminggu kedepan, Gabrin akan sering ambil dispensasi untuk latihan.
"Ga, habis inni lo diminta ngehadap Miss Nency," ujar Adit, ketua kelas sekaligus partner basketnya.
"Ada apa? Perasaan tugas udah gue submit." Gabrin heran karena biasanya ia dipanggil kalau belum mengerjakan tugas.
"Mana gue tau, Ga. Cuma diminta sampein ke lo aja tadi."
Setelah hampir setengah jam mereka istirahat, semua lanjut beres-beres. Di sekolah mereka disediakan kamar mandi beserta shower di dalamnya. Jadi selepas olahraga biasanya siswa harus mandi dulu sebelum ganti ke seragam sekolah. Gabrin yang apa-apa itu serba cepat pun sudah duduk di ruangan Miss Nency padahal yang punya ruangan sedang di tempat lain. Tabiat Gabrin memang seperti itu, terlalu inisiatif padahal belum diminta duduk. Meskipun demikian, guru tidak ada yang protes. Sama halnya dengan Gibran, sang abang, selain cerdas Gabrin juga sering membawa harum nama sekolah dengan memenangkan lomba atau turnamen di luar akademik.
Pintu ruangan terbuka, guru yang ditunggu-tunggu sudah datang.
"Tugas saya bukannya sudah saya kumpul ya, Miss?" cecar Gabrin setelah gurunya itu duduk di hadapannya.
"Sudah. Tapi sekolah mau minta tolong sama Gabrin untuk gabung di acara musikal minggu depan."
"Minggu depan banget, Miss? Saya ada turnamen basket, Miss."
"Saya tau, turnamen basket kan Selasa. Nah, acara musikal di hari Kamis."
"Astaga, Miss. Kayanya saya ngga bisa, saya takut ngga bisa bagi waktu latihannya." Gabrin mencoba untuk negosiasi.
"Bisa. Nanti latihan musiknya nyesuain jadwal latihan basket kamu. Saya yakin kamu bisa, Gabrin. Kamu sangat berbakat."
"Miss, saya juga tau saya berbakat. Tapi ini mendadak banget, Miss."
"Tidak, Gabrin. Yasudah, saya anggap kamu setuju ya. Kamu boleh pulang ke rumah." Miss Nency tersenyum ramah, sedangkan Gabrin menunjukkan raut asamnya. Ada gila-gilanya ini sekolah.
Keluar dari ruangan Miss Nency, Gabrin mendapat panggilan dari Marsha. Perempuan itu memberi kabar kalau dirinya sudah sampai di depan sekolahnya. Gabrin meminta Marsha untuk menjemput karena dia tidak membawa motor hari ini. Saat menuju parkiran, satu siswi menghentikannya.
"Iya?" tanya Gabrin ramah.
"Kak, ini punya kamu bukan ya? Tadi waktu piket cek lapangan, ada botol ketinggalan."
"Oh iya, makasih ya." Setelah siswi itu pergi, Gabrin bergegas ke mobil kakaknya.
"Buset, wangi bener lo Ga."
"Iya, habis mandi. Tadi latihan basket."
"Apa ngga kecantol cewek-cewek sekolah, lo?" Marsha sengaja menggoda Gabrin. Ia tadi sempat melihat adeknya itu interaksi dengan salah satu siswi.
"Eh, abang lo ngajak nongkrong, nih."
"Oke aja sih gue. Sore, kan?" Marsha mengangguk. Ia mengendarai mobilnya menuju rumah sepupunya itu.
***
Besok itu tanggal merah, jadi tidak heran kalau sore ini banyak anak muda memenuhi beberapa cafe dan tempat makan area kota. Gabrin dan Marsha sudah sampai di tempat yang sudah Gibran share-loc. Mereka memilih meja yang di corner karena selain nyaman dan lebih privasi, dari sana mereka bisa melihat lalu lalang orang yang keluar masuk cafe. Gibran belum menunjukkan batang hidungnya, ia ada acara mendadak di kampus jadi memang sedikit terlambat.
"Rame bener," celetuk Gabrin. Tak lama setelah itu, ia melambaikan tangannya ketika melihat abangnya, Gibran. Masih mengenakan pakaian kampus, Gibran duduk di hadapan Marsha dan Gabrin.
"Belum pesen?"
"Udah, belum dateng aja. Lo mau minum apa, Gib?" Marsha mencatat pesanan Gibran kemudian pergi memesan.
"Gen!" seru Gibran saat melihat teman kampusnya itu lewat.
"Eh, udah dateng Gib?"
"Iya. Kenalin ini adek gue, Gaga." Gabrin reflek salaman dengan Geni.
"Pas banget, ini sepupu gue namanya Marsha. Temenan deh kalian biar kalau kemana-mana ngga pada sendiri-sendiri." Marsha yang abru datang tersenyum ramah ke Geni.
"Halo, Kak Marsha."
"Panggil Marsha aja. Gue seumuran sama Gibran, kok."
"Oh gitu, oke deh. Aku balik kerja dulu ya, Gib." Gibran mengangguk. Kemudian perempuan itu sudah kembali untuk bekerja."Pacar lo, Gib?" tanya Marsha.
"Bukan, temen kampus. Dia kerja di sini kalau pulang kuliah. Aslinya orang semarang, di Jakarta ikut budhe-nya."
"Ngerti banget lo, Bang." Gabrin menatap Gibran aneh.
"Ya kan namanya juga temen, dia sendiri yang cerita. Lo Sha, temenan deh sama dia. Geni baik kok, bisa buat temen ngobrol juga."Gibran senagaja mengajak Marsha dan Gabrin kesini ya untuk ini. Memperkenalkan Marsha ke Geni supaya keduanya bisa menjalin hubungan pertemanan. Ia paham tidak bisa menemani Marsha kemana-mana setiap saat, mungkin dengan adanya teman baru, sepupunya itu jadi tidak merasa sendiri.
Hanyut dalam obrolan sampai mereka tidak sadar malam semakin larut. Dua puluh menit perjalanan, mereka sudah sampai rumah. Malam ini Marsha menginap di tempat Gibran dan Gabrin. Kebetulan besok libur jadi semua bisa bersantai.
Malam itu mereka habiskan waktunya untuk nonton netflix sampai dini hari. Kebiasaan yang mereka selalu lakukan ketika sedang berkumpul bersama, sayangnya Gabrel tidak di sini. Si sulung masih sibuk dengan adegan dewasanya, bekerja. Ketiga remaja itu terlelap di ruang tengah dengan televisi masih menampilkan film. Pukul 2 pagi, Gibran terbangun. Tidurnya terusik oleh deringan telepon. Ia mencoba mencari sumber suara dan ternyata itu berasal dari ponsel di genggaman Marsha. Pelan-pelan takut membangunkan sang empu, Gibran mengambil ponsel itu berniat mematikan deringan.
Mata yang semula menyipit langsung terbuka lebar ketika membaca nama di layar ponsel. Buat apa Vito telpon malam-malam seperti ini. Bahkan ini sudah masuk dini hari. Gibran mengangkat panggilan itu. Rahangnya mengeras ketika mendengar suara di seberang.
"Sha, kok diem?"
"Ada apa telepon malam-malam gini? Ngga punya jam lo di rumah?" Emosi Gibran menyala.
"Marsha mana? Gue mau bicara sama dia."
"Mau apa, lo?"
"Gue mohon Gib, gue butuh Marsha sekarang."
Gibran mengusap wajahnya kasar. Bisa-bisanya dengan gampangnya bilang seperti itu.
"Dengerin gue, penyakit lo itu urusan lo. Jangan pernah bawa-bawa Marsha ke kehidupan toxic lo itu." Gibran mematikan panggilan sepihak. Dipikir cowok itu akan diam saja sejak mengetahui sepupunya selalu mendapat luka lebam? Gibran tau Vito itu punya sakit mental yang memang seharusnya harus dibawa ke profesional. Terkadang Marsha keceplosan menceritakan perlakuan kasar Vito kepadanya.
Karena emosi masih memuncak, Gibran berjalan ke balkon kamarnya. Mencari udara segar. Satu batang rokok sudah terselip di antara dua jarinya. Ia duduk sembari menikmati asap yang masuk ke paru-paru. Ia membenci saat-saat seperti ini. Kacau pikirannya.***
Mega pagi ini masak lumayan banyak. Ada berbagai pilihan lauk juga, membuat Gabrin yang baru saja selesai mandi langsung mendudukkan pantatnya ke kursi meja makan. Marsha juga baru selesai beres-beres. Ia memakai rok span panjang yang ia padukan dengan top tanpa lengan.
"Kok sudah rapi, Kak? Mau langsung pulang?" tanya Gabrin yang hanya diangguki oleh perempuan itu.
Saat semua sudah berkumpul, baru sarapan mereka dimulai. Tidak ada yang bersuara, semua sibuk menikmati makanan di meja. Di antara semuanya, satu-satunya yang belum mandi hanya Gibran karena cowok ini baru saja bangun dan langsung sarapan. Marsha selesai duluan, ia menuju ke dapur guna mencuci piring kotornya. Ekor matanya melihat seseorang sedang mengambil minum di sampingnya."Gib, gue mau ngomong." Gibran menaikkan satu alisnya kemudian membuntuti Marsha yang berjalan ke taman belakang.
"Kenapa?"
"Lo yang ngangkat telepon dari Vito semalam?"
"Tadi pagi." Gibran merivisi. "Iya, gue."
"Kenapa lo ngga bangunin gue? Vito telepon jam segitu pasti memang betul-betul butuh gue, Gib." Marsha mengatakan itu dengan nada yang meninggi. Tidak seperti biasanya yang berbicara santai kepada Gibran.
"Butuh buat apa? Buat ngelampiasin penyakit dia itu? Buat mukulin lo lagi?"
"Stop, Gib. Gue udah bilang sama lo berulang kali untuk jangan ikut campur urusan gue. Jadi please stop doin' that fucking shit. Urusin hidup lo aja, Gib." Mata Marsha sampai berkaca saking menahan kesal dan emosi yang meluap. Setelah itu, ia berjalan keluar dan tak lama deruman mobil terdengar.
Gibran yang masih berdiri di taman belakang pun menjawab pelan,
"Oke."***
30 September 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bro's
RandomKisah Perkumpulan Anak Download! ❕ © 2020 Meripuff All Rights Reserved ❕