Lima

137 29 16
                                    

Brakk!!

Gibran membuka pintu kamar Gabrel bar-bar.

"Mana sepatu gue? Lo tuh ya kalau pinjem tuh bilang terus kembaliin cepet. Kebiasaan banget pake punya orang gak dikembaliin!"

"Apasih lo dateng-dateng nge-rap," kesal Gabrel karena tidurnya harus kebangun paksa.

"Sepatu gue mana?! Gue mau ke sekolah buruan," ucap Gibran tidak sabaran.

"Sepatu yang mana?"

"Ini nih. Kebanyakan pinjem jadi pelupa. Ya yang sneakers abu. Lama ah lo." Gibran membuka lemari sepatu milik abangnya. "Dimana?"

"Disitu. Ada gak?"

"Gak."

"Yaudah pake yang ada dulu. Tuh pake punya gue asal jangan yang putih," tawar Gabrel.

"Gak. Ogah banget pake sepatu lo itu. Gaada kece-kecenya. Harga aja mahal, model pasaran. Udah buru punya gue dimana?"

"Lupa gue. Masih di tukang cuci kayanya."

"Ah elah. Pinjemin sepatu putih punya lo sini,"

"Apaan dah. Gak, gak ada. Jangan yang itu, lu mah liat yang hype dikit gasrak."

"Kok jadi lo yang bacot sih. Daripada besok gak gue pinjemin lagi," ancam Gibran.

Gabrel menatap adiknya malas, Gibran itu otak-otak licik. Tidak mau rugi.

"Yaudah, jangan buat nendang-nendang. Inget harga," ujar Gabrel.

Dengan senang hati seolah-olah lupa dengan kemurkaannya tadi, Gibran memakai sepatu milik abangnya. Hanya sepatu ini milik Gabrel yang menurut Gibran lulus kece. Selain model yang milenialis harga juga fantastis.

"Ngapain lo ke sekolah? Udah mau lulus aja rajin, dulu masih pelajar kerjaan bolos."

"Tebar pesona lah," jawab Gibran sembari melampaikan tangan ke arah abangnya sebelum keluar kamar.

Gabrin sudah duduk di meja makan, sembari memainkan ponselnya. Membaca materi yang akan diujikan di kuis pagi ini.

"Pagi, Pa, Ma," sapa Gibran saat melihat papanya keluar dari kamar diikuti mamanya.

"Pagi."

"Gaga sarapan dulu, hp nya taruh!" titah Endra, ayah trio ecek-ecek. "Gabrel mana?"

"Masih di kamar, Pa." Sahut Gibran. Tidak lama kemudian terdengar decitan pintu, baru kemudian Gabrel keluar masih dengan muka bantalnya.

"Gaga berangkat bareng Bang Gibran?" Gabrin mengangguk menanggapi Mega sambil menggigit roti panggang sebagai sarapannya.

Gibran meneguk susunya kemudian berdiri, Gabrin yang memang sudah selesai pun ikut berdiri siap berangkat sekolah.

"Bang Gibran dasi kamu mana? Itu juga kemejanya masukin!"

"Di tas, Ma. Iya nanti di sekolah," jawab Gibran.

Penampilan Gibran dan Gabrin sangat kontras. Gabrin dengan kemeja dimasukkan ke celana kotak-kotaknya juga dasi identitas terpasang rapi sedangkan Gibran kemeja dikeluarkan, boro-boro memakai dasi, punya saja tidak.

"Pa, Ma, Gibran berangkat."

"Gaga juga." Gibran mencium tangan kedua orang tuanya diikuti Gabrin. Kemudian keduanya melayangkan tos jarak jauh kepada Gabrel.

"Hati-hati. Gibran gausah arogan di jalan!" peringat Endra.

"Papa kaya gak pernah muda aja," jawab Gibran.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang