Sepuluh

67 14 0
                                    

“Tolongin gue,”

“Lo dimana?” Gibran dengan cepat menyambar jaket dan mengambil kunci motor sebelum Gabrel menghentikannya.

“Jangan gegabah. Kita bertiga berangkat semua, ambil kunci mobil!” titah Gabrel.

Gabrin dengan celana pendeknya segera mengambil jaket dan topi kemudian menyusul abangnya. Dengan gesit Gabrel mengendarai mobil yang berisi trio ecek-ecek tersebut keluar dari gerbang rumahnya. Gibran terus menelpon Marsha namun ponsel tidak aktif. Beruntung tadi sebelum mematikan telpon, Marsha memberikan lokasi dirinya berada.

“Dia bilang di gedung kosong. Emang ada gedung kosong ya di sana?” tanya Gibran pada abangnya.

“Ada. Bekas ruko.” Gabrel menambah kecepatan mobilnya. Ketika sampai di depan gedung, Gabrel memarkirkan dengan asal. Ketiganya keluar kemudian memasuki gedung tersebut. Gabrin mengeluarkan ponselnya guna menyalakan lampu senter.

“Ada orang ngga sih?” tanya Gabrin.

“Sepertinya engga. Marsha punya trauma di tempat gelap makanya dia panik.” Jawab Gabrel. Ia membuka pintu yang lumayan berat.

“Sha! Lo dimana?” panggil Gibran disusul yang lain. Saat sedang mencari Marsha tiba-tiba ada suara yang membuat Gabrel dan Gibran salah fokus. Perut Gabrin. “Kenapa lo, Ga?”

“Laper, gue. Kita belum makan malam kalau lo lupa.” Gabrin mengusap perutnya. “Dimana dah Kak Marsha?”

“ALLAHU AKBAR!” teriak ketiganya saat sosok berambut panjang berdiri di depannya.

“Ini gue. Kenapa kaget sih, hiks,” ujar Marsha di sela tangisnya. Gibran langsung mengecek keadaan Marsha memastikan semua utuh. Semua langsung bergegas ke mobil dengan Marsha yang dituntun Gabrel. Sesampainya di dalam mobil, Gibran langsung melayangkan berbagai pertanyaan. Gabrel segera mengemudikan mobilnya. Sedangkan Gabrin duduk di samping Gabrel. Ia menyodorkan minum untuk Marsha.

“Siapa yang bawa lo ke sana? Vito?” Belum sempat menjawab, derungan motor di samping mobil mengalihkan perhatian trio ecek-ecek beserta Marsha.

“Shit!” umpat Gibran. Gabrel meminggirkan mobilnya.

“Gaga di dalem aja sama Marsha,” ucap Gabrel. Sedangkan Gibran sudah keluar dengan emosi siap tempur.

“Marsha mana?” Pengendara motor tadi alias Vito menggedor pintu mobil. Gabrel dengan sigap menarik kerah baju Vito menjauh dari mobil.

“Dia balik sama gue,” ucap Gabrel.

“Dasarnya brengsek tetap brengsek,” sindir Gibran dengan senyum sinisnya.

“Maksud lo apa?” Vito merasa tidak terima dengan ucapan Gibran.

“Cowok mana yang ngebiarin ceweknya malam-malam di dalem gedung kosong sendirian? Gue udah berapa kali peringatin lo, kalau lo pacaran sama Marsha buat nyakitin dia buat apa? Lepasin Marsha,” cecar Gibran.

Gabrel hanya diam memantau adiknya jangan sampai melakukan perbuatan yang bakal merugikan dirinya sendiri.

Vito tersenyum miring, “Lepasin? Lo ngga bisa ngatur perasaan Marsha. Bahkan Marsha yang ngemis cinta ke gue meskipun udah gue sakitin berulang kali.”

Gibran melayangkan bogemnya saat teringat luka di bibir dan lebam di tangan Marsha. Vito tersungkur kemudian berdiri siap membalas namun tangannya di cegah oleh seseorang.

“Jangan, tolong. Gue gapapa,” lirih Marsha. Tangannya menggenggam sebelah tangan Vito. Vito yang melihat Marsha seketika meredamkan emosinya. Satu tangan Marsha menyentuh luka lebam di wajah Vito. Sepertinya Vito sudah berkelahi sebelum ia ke sini. Terbukti dengan luka yang sudah lebam, di tambah pukulan dari Gibran membuat lukanya kembali terbuka. “Sakit?”

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang