Dua Puluh Dua

39 3 3
                                    

Gabrin duduk termenung di sofa ruang tengah. Hanya ada dia di rumah saat ini. Gibran sudah dua hari tidak pulang karena ada kegiatan kampus sedangkan mamanya pergi ke Galeri. Jujur, Gabrin tidak terbiasa sendiri. Biasanya abang-abangnya selalu bersama dirinya. Lebay memang. Bertambah umur, bertambah dewasa, semuanya berubah. Sibuk mengejar kebutuhan masing-masing.

"Huftt!" Gabrin membuang nafas berat kemudian bangkit dan melangkah menuju ruang kerja mamanya. Dirinya berdecak kagum ketika melihat banyak karya lukisan menempel di dinding. Tak luput berbagai bentuk gerabah tersusun rapi di rak samping.

Tangannya terulur mengambil pahatan kayu yang belum terbentuk sempurna. Masih dalam bentuk kasar tapi Gabrin bisa menebak maksud dari pahatan tersebut. Tiga anak laki-laki saling merangkul satu sama lain.

"Keren nih kalau udah jadi," monolog Gabrin.

"Gaga?"

Kaget, buru-buru Gabrin meletakkan pahatan tadi. "Eh, mama."

Gabrin menggaruk tengkuknya. Berasa tertangkap basah melakukan hal buruk. Walau memang dirinya mengakui kalau ia masuk ruangan tanpa izin.

"Maaf, Ma." Mega menghampiri Gabrin dan mengambil pahatan kayu yang sempat dipegang Gabrin. Wanita tersebut tersenyum.

"Gaga mau ngga nerusin ini?"

"Hah?" Gabrin tercengang mendengar pertanyaan yang lebih ke permintaan mamanya. Kaget bro, dirinya pegang alat pahat saja belum pernah malah diminta melanjutkan karya sakral. Patah yang ada.

"Nanti mama ajarin."

"Abang ajalah, Ma. Takut ngerusak, Gaga."

Ceklek,
Seorang remaja yang dua hari ini tidak keliatan cuping telinganya berjalan mendekati ibu dan anak yang sedang negosiasi.

"Apaan?"

"Loh, udah balik Bang Gibran?" Gibran mengangguk sambil memeluk mamanya dilanjutkan menjitak kepala sang adik.

"Rese banget, baru pulang juga." Gabrin menatap abangnya sengit.

"Udah jangan berantem, mending kalian lanjutin ini berdua. Nanti kalau sudah jadi mama bakal bawa ini ke Galeri."

Gibran mengangguk-anggukan kepalanya menandakan setuju. Memang diantara trio ecek-ecek yang kreatif, inovatif, dan percaya diri cuma Gibran. Gabrin terkadang iri dengan kemampuan kakaknya tersebut.

"Bawa keluar ajalah, kita pahat di taman belakang. Boleh kan, Ma?"

"Boleh, nih." Mega memberikan satu tas yang berisi peralatan.

"Makasih, Ma."

***

"Bang, tangan lo minggiran dikit dong!"

"Lo kerjain yang sebelah sana dulu, lah!"

Dua remaja sedang duduk di atas karpet rumah yang digelar di taman belakang dengan pahatan kayu di tengah-tengah mereka. Mega menghampiri dengan membawa kain canvas di tangan kanannya.

"Gibran mukulnya jangan keras-keras, kayunya nanti patah," tegur Mega.

Melihat Mega datang, Gabrin yang sebelumnya memang tidak tertarik dengan pahat memahat akhirnya berdiri. Ia menghampiri mamanya yang sedang membuat gradiasi warna. Kalau dilihat-lihat, Gibran dan Mega memiliki ketertarikan yang sama.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang