Sembilan

62 12 5
                                    

"Tolongin gue dong, tolongin gue," heboh Gibran memasuki kamar Gabrel.

"Kenapa dah?" tanya Gabrel.

"Ga enak gue ngomongnya. Bang lo ada duit lima belas gak?"

"Lima belas apa? Lima belas ribu? Ada nih. Kebetulan banget gue ada dua puluh ribu."

Gibran melemparkan dirinya di atas kasur milik Gabrel. Dirinya uring-uringan sambil melempar guling. "Lo mah becanda mulu, Bang. Sedih akutuh, mau nangis."

"Idih, kesambet apa sih lo. Ini duitnya gausah kembaliin deh," ucap Gabrel dengan jidat berkerut.

"Lima belas. Lima belas jetong bukan lima belas ribu," jelas Gibran masih dengan gaya uring-uringannya.

"Allahu Akbar. Buat apa? Gue merasa miskin ditanya duit segitu."

"Buat bayar kuliah, anjir. Besok udah kudu bayar." Gibran menatap hampa langit-langit kamar Gabrel.

"Bukannya udah dikasih papa. Jangan-jangan-" Gabrel menatap curiga adiknya.

"Enggak. Gue gak habisin ya. Duitnya masih tapi lagi dipinjem temen."

"Siapa? Tagihlah. Orang lo butuh juga. Lagian duit begitu lo pinjem-pinjemin."

"Bokap Felix sakit waktu itu. Gue ga tega lah, Bang. Terus gimana ini nasib gue besok?"

Baik Gabrel maupun Gibran hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Gibran sebenarnya ingin menagih ke Felix. Tapi lagi, rasa empati persahabatan mereka membuat Gibran tidak tega. Dirinya tau ekonomi keluarga temannya sedang tidak baik-baik saja. Kepala keluarganya sedang terbaring di rumah sakit. Hal tersebut membuat Gibran lebih baik mencari bantuan lain daripada membuat beban temannya bertambah.
Gibran berani mengambil risiko dengan meminjamkan uang kuliahnya karena ia selalu berfikir bagaimana kalau hal tersebut menimpa dirinya. Betapa sakitnya jika tidak ada satupun teman maupun kerabat yang mau menolong. Prinsip Gibran adalah menjadi orang baik. Selagi dirinya mampu, ia akan berusaha membantu.

"Entar gue anter," celetuk Gabrel tiba-tiba.

"Kemana?" Gibran menatap bingung abangnya.

"Lampu merah. Kerja, katanya butuh duit. Lo kan gak pea-pea banget di musik. Sabi lah diterapkan dalam kehidupan."

"Bang, lo mah. Frustasi nih gue. Jangan sampe mama papa tau."

"ASSALAMUALAIKUM!"
Gibran menatap abangnya. Tatapannya seolah bertanya siapa yang bertamu. Namun tidak lama kemudian,

JDARRR!!!

"ALLAHU AKBAR," kaget Gabrel dan Gibran dengan suara bantingan pintu.

"Halo." Sesosok remaja berdiri di depan pintu kamar Gabrel sambil tersenyum.

"Lo mau ngerusak pintu rumah orang?"

"Maaf. Gaga mana tumben gak ikut ngumpul."

"Lagi sekolah. Ngapain lo kesini?" sinis Gibran.

"Duduk sini, Sha." Gabrel menepuk kursi kerjanya. "Mau minum apa?"

"Makasih, Bang Gab. Air putih aja." Disaat Gabrel sedang mengambil minum, Gibran maupun Marsha tidak ada yang bersuara.

"Kenapa sih, lo?" tanya Marsha pada Gibran. Biasanya Gibran paling hiperaktif dan melihat Gibran seperti tidak ada semangat hidup seperti ini membuatnya heran.

"Pusing, gue." Gibran menoleh ke arah Marsha. Awalnya biasa saja namun Gibran merasa ada yang ganjal. "Bibir lo kenapa?"

Marsha merupakan sepupu yang paling dekat dengan trio ecek-ecek. Jadi tidak heran jika hubungan mereka terlihat akrab.

Bro'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang