21

31.2K 3.1K 46
                                    

Setelah pelajaran matematika selesai, Devan dengan bersemangat langsung menarik Al ke kantin. Tidak bisa menolak, Al hanya mengikuti saja tanpa protes. Seperti biasa, sebelum keluar dari kelas, Al menaikkan tudung jaket yang dipakainya terlebih dahulu. Al pikir, mereka akan mampir ke kelas sebelah untuk menjemput Dean dan Zio terlebih dahulu, ternyata tidak. Begitu mendekati pintu kantin yang sudah cukup ramai, seseorang memanggil nama Al dengan kencang.

"AL!"

Dean melambaikan tangan pada Al dan Devan. Begitu mereka sampai, Dean langsung merangkul pundak Al, "Lama amat sih, liburnya lo. Ngapain aja emang?"

"Aku nggak dibolehin keluar rumah sama papa," jawab Al sambil tersenyum. Ia juga senang bertemu lagi dengan Dean dan juga Zio yang sepertinya sedang mengamatinya dari atas sampai bawah. "Kenapa, Zio?"

Zio menggeleng, kemudian mendahului mereka memasuki kantin. Dean dan Devan yang sudah terbiasa dengan kediaman Zio hanya mengikutinya tanpa berkomentar. Al agak merapatkan dirinya dengan Dean yang masih merangkulnya sambil matanya berkeliling kantin. Ia agak lega saat mengetahui Kak Bima sedang tidak ada di kantin, jadi Al bisa berjalan lebih tenang.

"AL!"

Al menoleh saat mendengar suara yang familiar memanggilnya. Ia menoleh dan melihat Bang Rey melambaikan tangan ke arahnya, lalu menunjukkan gestur memintanya ke sana. Al baru hendak melangkah ke sana saat tangannya ditahan. Ia menoleh dan mendapati Devan menggeleng kuat-kuat sambil menatap tajam ke arah bang Rey.

"Jangan ke sana, Al. Gue nggak mau makan bareng macan ganas. Kalau lo ke sana gue nggak ikutan. Jadi ayo kita jauh-jauh aja," kata Devan pelan sambil menarik Al menjauh dari kursi Bang Rey.

Al yang ditarik begitu saja mengerjapkan matanya bingung. Ia menoleh pada Bang Rey yang kini hanya duduk menatap Al yang menjauh dengan tatapan kesal. Al yang tidak bisa apa-apa hanya melambaikan tangannya. Ia berhenti saat Dean ikut mendorongnya menjauh sambil menahan tawa.

"Ya, ya, ayo menjauh dari macan kesayangan Devan," kata Dean menahan geli.

Devan melotot mendengarnya, "Enak aja kesayangan. Lo masih mabok?"

"Berisik," potong Zio yang sudah duduk anteng di salah satu kursi.

Al baru duduk di sebelah Zio saat cowok itu malah berdiri, "Kalian mau pesan apa?"

"Bakso, pedes," jawab Devan dan Dean bersamaan sambil menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu padanya.

"Aku... samain aja," kata Al saat pandangan Zio mengarah padanya.

Belum sempat Al menyerahkan uangnya, Zio sudah berjalan menuju tempat memesan makanan. Al hanya diam di tempatnya memperhatikan Devan dan Dean yang kini tengah berdebat. Sesekali Dean tersenyum pada orang-orang yang menyapanya. Melihat hal itu, Al merasa bahwa Dean dan Devan cukup terkenal. Ia ingin pindah saja rasanya karena setiap orang yang menyapa mereka berdua rasanya selalu memandang Al dengan aneh.

"Lo oke?" tanya Zio yang baru saja kembali dan duduk di samping Al. Ia membagikan minuman yang dibawanya kepada mereka. Devan dan Dean es teh, sedangkan Al air mineral botol. Ia sendiri sudah membawa botol minumnya saat datang ke sini.

Al mengangguk saja sambil memainkan jemarinya di atas pangkuannya.

Zio mengerutkan kening tidak percaya karena anak di sebelahnya ini kelihatan gelisah. Ia meluaskan pandangannya, mencari apa yang membuat Al gelisah, lalu menyadari bahwa hampir semua mata di kantin ini sedang menatap mereka, entah terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Zio menghela nafas, ia teringat cerita Al dan Bang Juned saat ke rumahnya minggu lalu. Setidaknya, Al harus terbiasa dengan tatapan skala seperti ini, karena sebagai keluarga Walen, akan ada banyak mata yang menyorot padanya.

AL WILL BE OKAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang