"Al? Obat apa ini? Terus ini apaan?"
Al mengerjapkan matanya, bingung mencari jawaban apa. Ia masih tidak ingin ketiga temannya ini tahu mengenai sakit asmanya.
"Itu... obat asma," jawab Al pelan. Akhirnya ia memilih untuk jujur kepada ketiga temannya itu. Perlahan ia mengambil botol obat dan inhalernya dari tangan Devan.
"Yang satunya apa? Kok bentuknya kayak mainan gitu sih? Ya, nggak, Zi?"
Bukannya menyahuti pertanyaan Dean, Zio malah menatap Al tajam. "Kenapa lo nggak pernah cerita?"
Al mengalihkan pandangannya tidak nyaman. Tatapan Zio membuat Al merasa bersalah. Padahal sudah jelas kalau itu haknya untuk bercerita atau tidak mengenai penyakit asmanya itu. Kalau bisa, Al hanya ingin berbagi hal-hal yang menyenangkan bersama Devan, Dean, dan Zio.
"Kenapa, sih? Kok lo marah gitu sama Al?" tanya Dean bingung. Ia ikut merasa khawatir melihat tatapan tajam Zio itu.
"Gue nggak marah. Gue cuma kaget Al punya penyakit itu. Pantes lo sering nggak masuk."
Hening. Al menolak menatap ketiga temannya itu. Tangannya mencengkram inhaler di tangannya dengan kuat. Sejujurnya, selain ia tidak ingin merepotkan mereka juga jika ia sedang kambuh, Al juga memiliki kekhawatiran ia tidak akan diterima seperti biasa jika mereka tahu Al itu lemah. Ia gampang sakit dan bisa jadi sering menyusahkan. Ibu kandungnya bahkan tidak mau menerima dirinya apa adanya. Kenapa mereka yang baru mengenalnya selama beberapa bulan mau menerimanya?
"Kalau gue nggak salah, asma itu gangguan pernapasan gitukan?" tanya Devan sambil menatap Al. "Gue nggak pernah punya temen yang sakit asma sebelumnya. Apa itu parah?"
"Temen gue dulu ada yang sakit asma dan sekarang udah meninggal," kata Zio pelan. Perkataannya itu membuat Al sontak menoleh kepadanya.
"Gara-gara sakit asma itu?" tanya Dean cemas.
Zio mengangguk. "Kalian tahukan, bernafas itu keharusan buat manusia. Kalau orang nggak bernafas dia bisa mati. Orang yang asma ini pernafasannya terganggu dan bikin dia kesulitan buat bernafas. Karena itu, kalau terlambat ditolong kayak temen gue itu, dia bisa meninggal."
Devan dan Dean terdiam serentak. Perasaan keduanya terasa tidak enak seketika. Mereka hanya pernah mendengar sekilas tentang asma saat belajar IPA di SD. Mereka berdua tidak pernah membayangkan penyakit asma separah itu. Devan memang ingat dulu gurunya pernah berkata bahwa penyakit ini belum ditemukan obatnya. Sekarang ia jadi bertanya-tanya bagaimana jadinya jika Al kambuh? Apa yang harus dilakukan?
Al tertawa canggung mendengar kata-kata Zio. Memang, saat asmanya kambuh, saat seluruh udara terasa direnggut dari tubuhnya, ia terkadang merasa ia bisa mati saat itu juga. Tapi sampai kini ia masih bertahan. "Aku nggak separah itu, kok. Asma juga ada tingkat keparahannya. Asmaku nggak terlalu parah. Meskipun emang kadang-kadang kambuh."
Zio menatap Al dalam. Ia mengkhawatirkan temannya itu. Mendengar Al ternyata mengidap penyakit yang sama dengan temannya yang sudah meninggal itu membuatnya sangat khawatir. Mereka bahkan baru bertemu beberapa bulan, tapi Al sudah seperti Devan dan Dean baginya. Ia takut Al juga akan meninggalkannya seperti temannya itu.
Al melihat kekhawatiran itu di mata Zio dan ia berusaha menarik senyum lebih tulus, "Sekarang keluarga aku nggak akan biarin aku kenapa-kenapa kok. Kamu tahu sendiri'kan, aku sakit tiga hari aja nggak dibolehin masuk sama papa seminggu. Aku juga selalu bawa obat ke mana-mana."
"Berarti lo udah sehat?" tanya Dean.
"Aku sehat, kok," balas Al kalem. "Udah ah, yok ke kelas."
Al mendahului semuanya dan berjalan keluar dari toilet sekolah. Langkahnya terhenti saat ia baru membuka pintu. Matanya mengerjap terkejut saat melihat cuaca di luar ruangan sudah berganti. Sejak kapan hujan turun? Bukankah saat ia pergi dari kantin tadi masih cerah?
KAMU SEDANG MEMBACA
AL WILL BE OKAY
RomanceMau salah ataupun tidak, tetap saja Al yang salah. Mau minta maaf atau tidak, tetap saja ia akan mendapat bogem mentah dari ayah. Mau sakit atau tidak, tetap saja ibu tidak sudi memeluknya. Sebenarnya, apa yang sudah dilakukannya sampai ia dibenci s...