Kejadian minggu lalu berdampak pada kehidupan sekolah Al hingga kini. Padahal beberapa minggu yang lalu sebelum ia tidak masuk sikap teman-teman sekelasnya sudah lebih baik. Mereka tidak keberatan sekelompok dengan Al dan tidak pernah memberikan tatapan sinis lagi padanya. Sekarang rasanya seperti ia kembali ke awal ia masuk ke sekolah ini. Malah mungkin lebih buruk. Karena jika dulu mereka lebih terkesan menghindarinya, kini mereka malah berusaha terus memojokkannya.
Seperti sekarang.
"Kalian nggak mau ngerjain tugas?" tegur Al saat ia sudah mulai mengerjakan tugas IPS yaitu membuat mind maping yang harus dikerjakan bertiga. Tadi Al sudah membagi tugas mereka masing-masing, tapi Roni dan Sinta, siswa yang terpilih sekelompok dengannya hanya diam saja sambil memainkan ponsel.
"Kenapa harus?" sinis Roni.
"Karena ini tugas kelompok," balas Al sabar.
Roni mengangkat sebelah alisnya tidak tertarik, "Kan ada lo. Lo yang cuma anak pembantu yang harus bantu kita nyelesain itu. Ya, nggak Sin?"
Sinta mengangguk saja.
Al menghela nafas. "Oh ya udah. Aku nggak masalah kok. Lagian aku bisa buat sendiri. Tapi jangan salahin aku kalau nilai kalian kosong."
Sudah pernah Al katakan, Al tidak mau dimanfaatkan oleh orang yang tidak memberikan manfaat padanya. Kalau teman sekelompoknya dengan sengaja membebankan semua pengerjaan padanya, tentu saja ia akan dengan senang hati menulis namanya saja tanpa mengikutsertakan nama lainnya. Bukannya ia tidak sanggup juga mengerjakannya sendiri. Meskipun tentu saja perasaan takut itu ada, tapi ia juga merasa ia harus membela diri setidaknya sekali-sekali.
Tiba-tiba kerahnya ditarik dengan kasar. Roni menunduk sambil menatap Al kesal, "Berani ngelunjak, ya, lo! Itukan emang tugas lo yang anak pembantu buat jadi pesuruh di kelas ini. Harusnya lo bersyukur masih bisa sekolah di sini dengan cara ya lo jadi pembantu kita!"
Pletak!! Al baru hendak mencoba melepaskan tangan Roni dari kerahnya saat cowok itu terkejut dan memegangi kepalanya yang dilempar penghapus. Cowok itu menoleh ke arah asal penghapus itu sambil menggeram tidak terima.
"Jangan macam-macam lo sama temen gue! Sini lawan gue kalau berani! Lagak lo kayak moyang lo orang keraton aja. Lo yakin nenek lo bukan budak waktu jaman penjajahan?!" sinis Devan sebelum Roni sempat mengatakan sesuatu.
"Hah?! Ap--"
"Lagian kan yang sekolah di sinikan lo. Nggak usah cari masalah deh! Lo, kalian semua itu nggak tahu apa-apa," potong Devan. "Sekarang lepasin temen gue atau lo gue lemparin pensil?! Gue nggak mau tanggung jawab kalau ujung pensilnya kena mata lo."
Roni berdecak sebelum melepaskan kerah baju Al dengan tidak rela.
Al hanya tersenyum kalem melihatnya, "Ayo, sekarang kamu sama Sinta bantuin aku ngerjain tugas."
Al sudah biasa diperlakukan kasar seperti itu. Bukannya ia tidak takut, tapi ia lebih biasa lagi menyembunyikan perasaannya.
***
Al menatap hasil mind maping buatan kelompoknya. Lumayan bagus juga, karena ternyata Roni dan Sinta berbakat dalam hias menghias. Al sendiri tidak bisa. Tulisannya berantakan dan ia sama sekali tidak bagus dalam menggambar. Yang mengejutkan, keduanya jadi protes pada Al karena hal itu dan menyuruh Al untuk mundur. Akhirnya, Al hanya menonton sambil memberi saran di sana-sini karena ia yang membuat konsepnya. Tugasnya hanya membuat ringkasan saja, kemudian mereka yang menggambarkannya di atas karton. Al benar-benar tidak menyangka keduanya tipe perfeksionis sampai memaksa Al untuk tidak menyentuh karton setelah melihat tulisan yang sudah Al bubuhkan pertama kali sebelum mereka ikut membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AL WILL BE OKAY
RomanceMau salah ataupun tidak, tetap saja Al yang salah. Mau minta maaf atau tidak, tetap saja ia akan mendapat bogem mentah dari ayah. Mau sakit atau tidak, tetap saja ibu tidak sudi memeluknya. Sebenarnya, apa yang sudah dilakukannya sampai ia dibenci s...