"Saya minta maaf. Mall tersebut benar-benar tidak menyediakan CCTV di tangga darurat."
Zeith melempar ponselnya ke atas meja kerjanya dengan frustasi. Ia benar-benar menyayangkan Al tidak pergi ke mall miliknya. Mall yang didatangi oleh anaknya itu cukup besar, tapi ternyata tidak menyediakan keamanan yang memadai. Yang benar saja, Zeith akan mengajarkan pada mereka bagaimana keamanan itu seharusnya dalam sebuah mall.
Kalau ia benar-benar tidak bisa menemukan pelakunya, haruskah ia menghancurkan mall itu saja? Mereka lah yang salah karena tidak menempatkan keamanan dengan benar. Bukankah tu artinya mereka tetap salah?
Tok.. tok tok
Zeith mengerutkan alisnya, siapa yang mengganggunya tengah malam begini? "Ya?"
"Pa?"
Al? Zeith menghela nafasnya, "Masuk."
Al membuka ruangan Zeith dengan perlahan. Ruang kerjanya di rumah tidak pernah dikunci, tapi semuanya tahu kalau Zeith tidak suka diganggu saat bekerja. Apalagi kalau ia masuk ke ruangan ini dengan kondisi emosi seperti tadi.
Begitu Al masuk, Zeith bangkit dari posisinya dan pindah ke sofa panjang yang ada di sana. Itu bukan tempat untuk menerima tamu. Zeith tidak suka menerima tamu di rumah. Kalaupun ada, biasanya hanya akan sampai di ruang tamu. Tidak akan masuk lebih dalam. Sofa ini diletakkan di sini agar Zeith bisa istirahat kalau ia sudah lelah tapi masih banyak kerjaan. Kalau ia keluar dan bertemu Lea, ia tidak yakin akan kembali lagi ke ruang kerjanya.
"Papa..." Al berhenti agak jauh di depannya. Zeith tidak memaksa. Ia menunggu apa yang akan dikatakan anaknya itu. "Al minta maaf."
Zeith mengendurkan tatapannya. Ia bangkit dan menarik Al dengan lembut ke arahnya. "Kenapa Al minta maaf?"
Al menunduk, tapi tidak berusaha menjauh, "Tadi papa marah."
"Papa marah kenapa?"
"Al nggak mau kasih tahu papa siapa yang cekik Al," kata Al pelan. Tangannya bergerak menutupi bekas memar yang sejak tadi terus mengambil perhatian Zeith.
"Kalau Al nggak mau papa marah lagi, berarti Al harus cerita, kan?" bujuk Zeith dengan lembut. Ia tahu ia salah tadi, ia menyesal sudah membentak Al, tapi kalau Al sendiri yang datang padanya, ia jelas harus memanfaatkannya dengan baik, kan?
Al mengangkat pandangannya dan pandangan mereka bertemu. Zeith bisa melihat keraguan di mata anaknya itu. Ia tidak tersenyum ataupun mengatakan apa-apa. Ia hanya menunggu, karena kalau ia mengatakan sesuatu, Al akan semakin ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Tapi..." Al menyentuh tangan Zeith dengan ragu, "jangan laporin orangnya ke polisi."
Wajah Zeith menggelap perlahan mendengarnya.
"Kata Uncle papa bakal masukin pelakunya ke penjara. Kalau papa nggak setuju Al nggak mau cerita," kata Al dengan nada tegas meskipun pelan.
Zeith menatap Al selama beberapa saat, kemudian akhirnya mengangguk. Ia menarik Al dan memangkunya. "Tapi kamu harus cerita semuanya."
Al mengangguk, "Tapi papa harus janji."
"Iya, papa janji."
Al menyodorkan jari kelingkingnya dengan tatapan serius. Zeith mendengus gemas melihatnya, tapi tetap menyodorkan jari kelingkingnya yang langsung dikaitkan oleh Al. Anaknya ini benar-benar... siapa coba yang akan menyeriusi janji kelingking selain anak kecil?
"Jadi?" Zeith bertanya tidak sabaran.
Al menceritakan semuanya, bagaimana tiba-tiba Kak Dian menariknya, mendorongnya, lalu mencekiknya tanpa ragu. Zeith bertanya siapa Dian itu, bagaimana hubungan mereka dulu, lalu kenapa kakak tirinya itu tiba-tiba mencekiknya dan Al menjawab kalau ia melakukan kesalahan. Wajahnya terlihat sedih sekali seolah ia benar-benar menyesal sudah melakukan kesalahan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AL WILL BE OKAY
RomanceMau salah ataupun tidak, tetap saja Al yang salah. Mau minta maaf atau tidak, tetap saja ia akan mendapat bogem mentah dari ayah. Mau sakit atau tidak, tetap saja ibu tidak sudi memeluknya. Sebenarnya, apa yang sudah dilakukannya sampai ia dibenci s...