"Selanjutnya, serah terima jabatan pengurus OSIS masa bakti 2020/2021 kepada calon pengurus OSIS masa bakti 2021/2022 secara simbolis."
Al melihat Bang Rey yang berada di panggung sedang melepas jaket OSIS-nya dengan mata berbinar. Kini abangnya itu menyampirkan jaket itu ke bahu Kak Kaisar, membuat seluruh orang di auditorium ini bertepuk tangan khidmat. Al tidak ikut, karena tangannya sibuk merekam momen bersejarah itu. Mas Dimas yang memintanya untuk mengabadikan momen itu. Katanya, "Kapan lagi kita ngeliat sosok Kaisar yang keren?"
Ya, ia merekamnya bukan karena Bang Rey, melainkan karena Kak Kaisar.
"Semangat banget sih lo liatnya," celetuk Devan di sampingnya.
Al terkekeh, "Biarin dong, inikan momen bersejarah mereka yang pertama kali aku liat."
Zio yang melihatnya ikut tersenyum. Jarang sekali melihat Al dalam mode ceria seperti ini.
"Ngomong-ngomong, kakak sama sepupu lo udah jadi Ketos, tuh. Lo ada niatan jadi Ketos juga nggak, Al?" tanya Dean sambil memakan bolu kukus yang mereka dapatkan sebagai konsumsi acara hari ini.
Zio dan Devan ikut menatap Al penasaran. Yah, wajar jika anak itu ikut tertarik menjadi Ketos karena kedua saudaranya itu. Akan tetapi, sebenarnya salah satu syarat Zio dalam mempertahankan beasiswanya adalah menjadi Ketua OSIS. Jadi sejujurnya Zio setengah berharap ia tidak perlu melawan teman baru yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu.
Al terdiam sesaat. Pandangannya fokus terarah pada Kaisar yang sedang membacakan pidato pertamanya setelah diangkat menjadi Ketua OSIS. Sejujurnya, Al sama sekali tidak tertarik. Berdiri di hadapan orang-orang dan menjadi pemimpin mereka? Al bahkan masih tidak berani ditatap orang banyak, bagaimana caranya mampu berdiri di sana sambil berbicara dan menjaga kharismanya?
"Bang Rey nggak ngebolehin," kata Al setelah Kaisar selesai berpidato di depan. Ia tidak berbohong. Bang Rey memang tidak mengizinkannya. Bahkan Al tidak diizinkan bergabung dengan OSIS. Ia khawatir Al akan kelelahan dan tidak memiliki waktu istirahat yang cukup. Al dengan senang hati menurut. Toh, itu bisa dijadikan alasan jika ada yang bertanya. Seperti sekarang ini.
"Kok gitu?" protes Dean.
"Katanya aku harus langsung pulang begitu sekolah selesai. Nggak boleh keluyuran," jawab Al santai.
"Dih, lo dikekang banget ya, sama macan lo itu?" gerutu Devan mendengarnya. Ia merinding membayangkan kakaknya memperlakukannya seperti itu.
Zio berceletuk, "Terjemahannya, pulang sekolah itu waktunya istirahat. Nggak boleh capek-capek."
Al tertawa mendengar celetukan Zio itu. Benar-benar tepat sasaran. Al tidak tahu bagaimana Zio bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Ah, apakah Zio sudah mengetahui kesehatannya yang sebenarnya? Atau Zio mengambil kesimpulan asal saja setelah melihat papa yang terlihat protektif saat itu?
Dean ikut tertawa, "Bener juga. Adek bayi harus rajin-rajin istirahat. Jangan capek-capek."
Kali ini Al mengerucutkan bibirnya. "Aku bukan bayi!"
Zio terkekeh melihatnya. Sejak kapan pula sahabatnya ini belajar berekspresi seperti ini? Bikin gemas saja.
"Ah, benar juga. Zio bakal nyalonkan, tahun depan?" celetuk Devan setelah puas melampiaskan kegemasannya dengan mencubit pipi Al yang hari ini lebih bersemu dibandingkan kemarin. Ia ingat kemarin anak itu datang ke sekolah dengan wajah pucat dan tubuh lemas. Saat di kelas pun Al beberapa kali batuk-batuk, terkadang juga bersin hingga lebih dari 5 kali. Kak Revan pun sempat menghampirinya dan menitipkan Al padanya secara pribadi. Berkata kalau Al terlihat lebih lemas sedikit saja, Devan harus memaksa anak itu ke UKS. Membuat Devan dan kedua temannya yang lain itu khawatir saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
AL WILL BE OKAY
RomanceMau salah ataupun tidak, tetap saja Al yang salah. Mau minta maaf atau tidak, tetap saja ia akan mendapat bogem mentah dari ayah. Mau sakit atau tidak, tetap saja ibu tidak sudi memeluknya. Sebenarnya, apa yang sudah dilakukannya sampai ia dibenci s...