Halo guys!
Sebenernya aku cuma mau update idle talk hari ini, tapi aku tahu part sebelumnya itu emang super gantung. Pasti pada khawatir ama Al. Hehe, jadi aku up ini aja.🤭Selamat membaca🥰⚘
➰➰➰"Nyonya, kakinya Dek Al berdarah!"
Dimas yang menggendong Al terhenti mendengarnya. Ia penasaran, tapi kemudian memilih melanjutkan membawa Al ke ruang depan. Di pelukannya, Al terus menangis di tengah kesulitannya menarik nafas. Dimas berusaha menenangkan adiknya itu sebisa mungkin. Apa kakinya yang berdarah yang menyebabkan Al seperti ini?
"Al, sayang, udah nangisnya, ya, nanti makin sesek," gumam Dimas saat ia duduk di sofa.
Ia menoleh ke arah bunda yang mengikuti mereka, tapi pandangannya dialihkan oleh jejak darah di tempat yang mereka lewati tadi. Matanya membola melihatnya. Ia masih terkejut saat bunda mengecek luka Al dan membebatnya dengan kain kasa yang dipegangnya. Apa yang terjadi? Kenapa Al berdarah sebanyak itu?
"Mas, mending kita ke rumah sakit aja," kata bunda khawatir. "Kamu ke mobil dulu ya, biar bunda panggil yang lain. Inhaler Al ada?"
Dimas mengangguk sebelum kemudian menggeleng. Gawat, apa yang ada di pikirannya sekarang? Adiknya sesak nafas. Harusnya ia membantu meringankannya dengan memberikan inhaler atau semacamnya. Dimas benar-benar kalut dan takut. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Al.
"Dimas!"
Dimas menoleh, bunda sudah berganti pakaian dan menarik Bang Varo mendekat. Sepupunya itu terlihat terkejut melihat keadaan Al, lalu berlari keluar untuk menyiapkan mobil. Sedangkan bunda bergerak mendekati Dimas untuk menenangkannya.
"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang," kata bunda lembut.
Seolah tersihir, Dimas bangkit dari duduknya dan menggendong Al keluar rumah menuju mobil Bang Varo yang sudah menyala. Ia membawa Al ke dalam mobil, lalu mendudukkan adiknya itu di sana. Ia hendak mengambil inhaler milik Al yang sepertinya berada di dalam tasnya. Tas Al ada di dalam mobilnya, tidak dibawa masuk ke rumah bunda tadi.
Akan tetapi, saat ia hendak melepaskan Al, adiknya itu malah mencengkram lengannya kuat-kuat. Dimas menatap adiknya yang akhirnya meresponnya setelah sejak tadi hanya menangis tanpa suara. Al menatapnya dengan pandangan memohon, memintanya untuk tidak menjauh tanpa suara. Wajah adiknya yang terlihat kacau itu membuat Dimas tidak tega untuk pergi. Tapi Al butuh obatnya kan? Adiknya itu bahkan masih ngos-ngosan seolah kesulitan memenuhi paru-parunya dengan udara.
"Mas cuma mau ambil inhaler Al, oke? Cuma sebentar aja," bujuk Dimas lembut.
Al menggeleng dengan brutal. Air mata kembali menggenang di matanya dan tinggal tunggu waktu untuk tumpah. Dimas bimbang. Apa yang harus dilakukannya?
"Masuk aja, Dim. Biar sekalian di rumah sakit nanti," kata Bang Varo memecah kebingungannya.
Dimas tidak menolak. Ia kembali masuk dan memeluk Al sementara di sebelahnya bunda meluruskan kaki Al di atas kursi. Begitu mereka siap, Bang Varo langsung melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah sakit. Dimas mencoba berinteraksi lagi dengan Al yang kembali menatap kosong jalanan, meskipun tangannya masih mencengkram erat baju Dimas. Sayangnya, adiknya itu bahkan tidak menatapnya lagi. Kini ia menyandarkan tubuhnya pada Dimas dengan lemas dan nafas yang terdengar satu-satu.
Untunglah jalanan tidak terlalu ramai. Mereka sampai di rumah sakit dalam waktu cepat. Dimas sudah was was saat melihat kain kasa yang digunakan untuk membebat luka Al sudah kembali dihiasi warna merah. Begitu mobil berhenti di depan UGD, Dimas langsung keluar menggendong Al menuju ke dalam. Lagi-lagi Dimas dapat bersyukur melihat UGD yang cukup lengang itu. Ia meletakkan adiknya di atas salah satu brankar kosong dan memanggil perawat yang berjaga. Dimas menjelaskan keadaan Al secara singkat, lalu perawat tersebut dengan sigap mengambil oksigen portabel dan memakaikannya pada Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
AL WILL BE OKAY
RomanceMau salah ataupun tidak, tetap saja Al yang salah. Mau minta maaf atau tidak, tetap saja ia akan mendapat bogem mentah dari ayah. Mau sakit atau tidak, tetap saja ibu tidak sudi memeluknya. Sebenarnya, apa yang sudah dilakukannya sampai ia dibenci s...