"Ini...mirip sekte, bro. Lo yakin gue tinggal?" Kian bertanya saat keduanya jalan ke parkiran. "Ini udah kaya adegan di Midsommar, lo tau gak sih."
"Yakin. Tenang, gue akan baik-baik aja. Sinyal masih ada. Masih bisa gue telpon. Maksimal gue di sini semingguan."
"Lo baliknya gimana?"
"Gampang. Bisa gimana aja.""Is, lo nekat. Udah balik sama gue. Nanti gue mesti bilang apa sama Mami?"
"Bilang gue mondok seminggu di sini. Gapapa."Dan Kian pun pamit, meninggalkan Kais sendiri di Pamadegan.
Seumur hidup tinggal di kota besar, Kais hanya pergi ke pedesaan untuk jalan-jalan setelah dewasa. Dia gak pernah punya kakek-nenek dan saudara di desa ala lagu anak-anak jaman dulu kala.
Hal pertama yang Kais rasakan adalah jarangnya gadget. Tidak ada TV, anak-anak tidak pegang ponsel, dan laptop cuma boleh dipakai di ruangan tertentu yang tertutup. Kegiatan sehari-hari meliputi belajar di kelas, shalat wajib dan sunnah di masjid, serta kajian di jam tertentu. Sisanya, semua orang sibuk masak, mencuci, beres-beres, bersih-bersih, dan piket keluar untuk berbelanja, membantu desa serta panen di kebun-kebun yang agak jauh. Sesuai syariat, tempat tinggal dan berkegiatan santri putra dan putri terpisahkan kompleks tempat tinggal guru dan bangunan publik.
Kais segera kagum dengan kesederhanaan dan kedisiplinan santri, sekaligus kemampuan mereka yang jarang ia lihat di Jakarta. Mereka ngobrol soal banyak hal, dalam banyak bahasa--Inggris, Indonesia, Arab dan beberapa bahasa daerah lain. Saat tiba waktu shalat, sebelum adzan semua sudah berlomba mengambil wudhu dengan gembira tanpa beban. Kais pikir hidup di pondok penuh aturan, tapi di sini, justru semua terlihat santai dan bebas.
Kesan baik di hari pertama, berlanjut hingga beberapa hari setelahnya. Di penghujung minggu, setelah tadarus mandiri bersama di rumah Appa, Kais bertemu dengan Amma.
Kais kagum melihat perempuan usia paruh baya yang tampak kuat dan awet muda, yang adalah ibunya Dea. Dia baru ingat lagi tujuan awalnya ke Pamadegan.
"Gimana? Enak mondok, Is?" Sapa Amma, akrab seperti tante-tante teman Mami.
"Alhamdulillah. Menyenangkan."
"Kais hari ini ikut anak-anak gali aliran sungai buat irigasi." Teguh memberi info, yang membuat Amma tertawa kagum.
"Apa yang bikin menyenangkan, Is?" Amma bertanya lagi.
"Semuanya, Ma. Di sini...rasanya lebih, apa, ya. Mindful. Apa-apa dikerjain pakai hati, meskipun sederhana tapi jadinya fokus dan hasilnya...walau kadang gak sesuai, tetap bikin senang."
"Mindfulness. Bagus pengamatan kamu." Amma mengangguk, sebelum melanjutkan, "Serius kamu nungguin Dea, ya? Kamu udah ketemu sebelumnya?"
Kais menggeleng, "Foto di CV-nya Dea pakai cadar..."
Amma mendecak, "Dia bahkan gak berhijab, Is. Yaaaa...kadang-kadang doang. Di sini, ya, pakai. Di Jakarta, hmmm...gak pernah. Bandel memang si Dea."
Kais sudah mulai gak kaget dengar berbagai cerita tentang Dea ini. Dia datang untuk uhkti soleha yang siap dipinang, tapi malah (gak bisa) ketemu sama si perempuan yang pernah menikah, susah diatur, bandel pula belum berhijab. Kais sebetulnya bisa saja pulang cepat, tapi entah kenapa dia malah makin penasaran.
"Saya penasaran, Ma." Kais menjawab jujur.
"Bagus kalau masih penasaran. Dia di jalan, 15 menit lagi sampai kayaknya." Amma menambahkan. Kali ini kata-katanya bikin Kais agak terguncang. Dan pikiran pertamanya adalah, kemeja mana yang cocok dipakai untuk menemui gadis itu. Kayaknya masih dijemur di belakang gudang bersama pakaian santri lain, deh.
"Sekarang banget, Ma?" Ia menyesali sedikit getaran yang muncul di suaranya, tapi gimana lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Merrily Marry Me
RomanceKais dan Dea menikah bukan karena cinta. Kais yang baru saja keluar dari dunia musik nan glamor ingin melengkapi hidup dengan cara yang baik. Dea, perempuan yang sudah lama gak butuh lelaki, ingin berbakti pada orangtuanya. Dengan latar belakang, ka...