Role Play Pt. 2

2.4K 360 36
                                    

Satu hal yang perlu Kais pastikan, adalah keselamatan Dea. Setelah berunding dengan Karen dan Della, akhirnya diputuskan untuk mengirim Dea ke Pamadegan. Pertimbangannya adalah karena Shiradj gak bakalan berani mengawasi ke sana, Dea bisa dengan mudah berbaur di sana, dan Teguh bersedia untuk menjemput.

"We need distractions, though," Della melipat kedua tangannya di meja tempat keempatnya berdiskusi sepanjang sore.

"Butuh cerita yang masuk akal dan mudah dipercaya, tapi sulit untuk dicek kebenarannya," Kais menambahkan sebelum memandang Karen. Sepanjang diskusi, Dea hanya diam menyimak, membuat Kais meraih tangannya yang terasa dingin.

Karen tampak berpikir sejenak, jelas mengerahkan segala pengetahuan dan pengalamannya nonton sinetron azab sejak dini. "Gue ada ide. Tapi ini mungkin akan merusak reputasi lo, Dey. Gue bisa bayangin Shiradj bakalan ilfeel, dan berhenti fokus sama lo..."

"Jadi kita harus bertindak lebih cepat saat cerita ini sampai ke Shiradj," lanjut Della, "Karena bisa jadi dia akan tahu hal-hal yang tadinya dia gak ngeh. Ferry, Modjo, everything."

"Okay. Ini ide gue..." Karen memulai.

***

Dalam usia pernikahannya yang masih singkat, Kais mengalami segalanya. Lamaran tanpa rencana sampai digugat cerai, mendadak tinggal di pelosok Papua dan kehilangan rumah karena kebakaran, hingga mesti berbuat senekat masuk gedung Shiradj yang dijaga ketat, ngurusin dokumen rahasia kantor orang...

Tapi yang paling menyesakkan adalah saat ini. Memandang Dea yang sudah siap berangkat ke Pamadegan, ikut Teguh pulang pakai mobil Kijang tua punya pesantren.

"Tenang aja, Is. Dea aman, kok." Teguh berkata, menghibur Kais, "Nanti di Pamadegan, dia saya kasih khimar panjang sama niqab sekalian biar gak kelihatan."

"Ogah," Dea menjawab segera, membuat Kais dan Teguh tersenyum bersama. Walaupun agak murung beberapa waktu terakhir, tapi jiwa rebel Dea masih ada.

"Tunggu aku jemput. Untuk sementara kita berhubungan lewat Teguh aja ya," Kais mengusap kepala Dea yang tertutup bucket hat. "Ini terakhir kali kita pisah-pisahan. Setelah ini, kita gak perlu lagi jauh-jauhan."

Dea meraih tangan Kais, mengecupnya perlahan. Membuat Teguh buru-buru melipir dan masuk mobil. "Jangan lama-lama, K. Nanti aku makin kangen," ia berkata dengan nada suara yang membuat hati Kais mencelos. Kalau saja mereka gak di parkiran masjid, ia sudah ingin memeluk Dea erat-erat.

"Aku janji gak lama-lama. Habis isya ini aku langsung ke tempat janjian Ren, Karli dan Pak Modjo," Kais melirik jam tangannya, "Kamu kabarin ya."

Dea mengangguk, memeluk Kais sekilas, sebelum berjalan menjauh ke mobil Teguh.

Kais menarik napas dalam-dalam. Rasa sakit yang dirasakannya saat ini, ia visualisasikan sebagai semangat baru untuk mengembalikan kehidupannya yang damai.

***

Tadi siang, Karli menelpon nomor Pak Modjo. Di luar dugaan, yang angkat telepon adalah asistennya. Setelah memberikan nama Ren, menyebut rekomendasi dari Ferry Kusuma, serta menunggu beberapa menit (yang Karli duga untuk ngecek laporan pajak Ren) telepon diberikan pada Pak Modjo.

"Malam ini saya bisa ketemu," Pak Modjo berkata langsung, "Kita harus ngobrol langsung sebelum diskusi soal kebutuhannya Mas Ren. Kalau bisa, Mas Ren-nya juga ikut."

"Boleh Pak, saya bawa dokumen apa saja?" Karli yang berperan sebagai akuntannya Ren, siap-siap mencatat.

"Aman itu. Kita gak perlu dokumen apa-apa, ngobrol dulu saja," ketegasan dan kelugasan Pak Modjo membuat Kais dan Karli sama-sama mengangkat alis, kagum.

Merrily Marry MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang