Pagi-pagi, Kais sudah pamitan pada semua orang. Dia gak terlalu menyesal sudah menghabiskan banyak waktu di Pamadegan. Semua orang di sini ramah, hangat, bahkan pada dirinya yang masih kategori ecek-ecek.
Bayangkan, kebanyakan santri khatam sekali sebulan. Sementara dia, baru sekali seumur hidup. Itupun dengan bacaan yang tidak lancar, tajwid berantakan dan artinya kadang skip dibaca. Tapi, anak-anak muda dan ustadznya masih excited menemaninya ngaji, membahas sunnah, hingga mengajarinya berbagai keterampilan hidup sederhana macam mencuci baju tanpa mesin.
"Kamu pulang sama siapa, Is? Tunggulah sampai habis dzuhur, nanti saya antar ke terminal..." Teguh khawatir, tapi masih harus ketemu dengan tim dari dinas pendidikan yang melakukan peninjauan dadakan.
"Gapapa, Kang. Saya biasa hiking, kalau hanya dari sini sampai ke tempat kendaraan umum sih santai..." Kais menjawab.
"Nanti kabaran yah, Is. Chat kalau udah sampai terminal."
"Kang, perhatian amat sama saya. Jadi ge-er." Kais bercanda sambil menyikut lelaki yang kini makin akrab dengannya.
"Ya atuh. Hati-hati ya."
Kais sudah duluan berpamitan pada Appa dan menitipkan salam untuk Amma. Sepanjang malam dia kepikiran Dea, jadi Kais memutuskan untuk gak lagi tanya-tanya soal perempuan itu pada siapapun.
Kais berjalan ke desa, ngobrol dengan beberapa penduduk yang dikenalnya sedang jalan menuju kebun dan sawah. Menikmati udara sejuk pukul 6 yang gak pernah ditemuinya di kota. Seminggu tinggal di pondok, dan ia gak berpikir tentang pekerjaan, what's next, to-do-list. Kais baru nge-charge ponselnya semalam supaya bisa buka Google Maps...tapi belum dinyalakan juga sampai sekarang.
Proses penjualan MusiKais belum sepenuhnya selesai. Kebanyakan musisi dan seniman yang dinaungi oleh label serta creative house itu berpikir untuk hengkang begitu tahu Kais bermaksud menjual MusiKais. Ia sebetulnya udah gak mau berurusan lagi, tapi pembeli asing yang diwakili pengacara itu meminta bantuannya untuk membujuk artis yang selama ini berkarya di MusiKais untuk stay.
Jadi dia harus ke Jakarta, sore ini ada janji meeting di kantor. Lalu besok beberapa janji lain yang ia tulis dalam Google Calendar. Dan lusa malam ada perayaan ulangtahun keponakannya, Ossa, di rumah Mami Papi. Berjalan semakin jauh dari Pamadegan, otak ringan Kais mulai penuh bertahap.
Ia berjalan di jalan aspal, sibuk dengan pikirannya sendiri, saat tiba-tiba sebuah mobil menjajari langkahnya. Jendela penumpang terbuka.
"Kais?" Suara dari dalam mobil membuatnya menengok, dan mendapati Dea di balik kemudi.
"Mau bareng?" Dea menawarkan. Nada suara perempuan ini gak ada ramah-ramahnya, malah cenderung bossy.
Kais berpikir-pikir, "Tapi aku yang nyetir."
"Ya udah gak usah. Dah." Dea menutup jendela otomatis, membuat Kais buru-buru menahan. Terdengar bunyi kunci, membuat Kais membuka pintu.
Ia duduk dan menyimpan ransel di lantai.
"Ke Jakarta lagi?" Dea bertanya, menjalankan mobil kembali.
"Yep."
"Sibuk ya? Aku baru tahu kalau MusiKais ada usaha di bidang arsitektur dan IT..." Dea berkomentar santai.
"Kamu tahu kalau..."
"Dude. Please. Aku punya handphone yang ada Google-nya, masukin nama Kais yang keluar langsung kamu. Tapi di pondok, apapun masa lalu orang, gak ngaruh. Ngomongin orang, masuknya berghibah, dan selain gak baik juga gak bermanfaat buat siapapun."
"Kamu baca CV aku juga..."
"Baca dong. Sejujurnya, untuk seseorang sekeren kamu, CV kamu...low profile banget. Dan fotonya, hmmm...super humble."
KAMU SEDANG MEMBACA
Merrily Marry Me
RomantizmKais dan Dea menikah bukan karena cinta. Kais yang baru saja keluar dari dunia musik nan glamor ingin melengkapi hidup dengan cara yang baik. Dea, perempuan yang sudah lama gak butuh lelaki, ingin berbakti pada orangtuanya. Dengan latar belakang, ka...