Take A Breath

2K 412 32
                                    

"Can you really trust this guy?" Kais bertanya pada Arlen, sementara mereka berkendara pulang menuju rumah Della. Mengikuti instingnya, Kais gak terlalu percaya pada politisi, apalagi yang merangkap pengusaha, dan mengaku terang-terangan kalau ia punya konsultan khusus untuk mengurangi tagihan pajak tahunan.

"Makanya kita mesti cepat," Arlen mengetik di laptopnya, duduk di samping Kais. Ia masih kelihatan santai di restoran barusan, tapi begitu masuk mobil, mendadak serius. Arlen cuma serius di situasi genting, dan ini membuat Kais merasa waswas. "Shiradj gak bakalan peduli hal lain selama Dea masih ngilang dan belum ketemu. Kita harus segera cari tahu apa urusan Pak Triatmodjo Sugeng Artawilaga Kartosuryo bla-bla-bla ini," Arlen mengangkat kartu nama di tangannya, "Sebelum Ferry dengan gak sengaja ngobrol kalau kalian ketemuan."

"Shiradj pakai konsultan pajak untuk urusan pajak Vybbe?"

"Belum, bro. Gue yang ngurus pajak, dan tahun pajak ini, masih gue yang ngurus semua. Tanpa konsultan, diskon, amnesti, apalah. MusiKais dan Vybbe di bawah gue, akan bersih tanpa masalah hukum apapun," Arlen berkata penuh keyakinan. Ini juga hal yang sejak dulu mereka sepakati bersama. Urusan peraturan dan pajak, MusiKais harus selalu melakukan hal yang benar.

"Kenapa mereka bisa kenal? Dan bisa sedekat itu, sampai saling merekomendasikan? Mungkin gak mereka juga keluarga?" Kais menebak.

"Bisa jadi. Gue udah nanya Dea barusan, tapi dia bilang gak ada orang dengan nama seaneh itu di keluarganya Shiradj yang ia tahu," Arlen mendesah sedikit putus asa.

"So it's business, then," Kais menyimpulkan, "But what kind of business?"

Tiba-tiba Kais punya ide. Untuk hal-hal di luar nalar, ia tahu siapa yang harus dihubungi.

***

"Dia pasti mafia!" Karen menepukkan tangannya dengan semangat.

"Mungkin selain itu dia juga ormas," tambah Kian sambil mengangguk, "Duit-duit gak jelas gitu biasanya ke ormas tuh ngalirnya, kayak di Pemerintahan DKI kemarin!"

Karli menunjuk Kian, "Eh tapi, setau gue, ormas jarang ngasih duit, tapi minta melulu, Yan. Parah tau, tiap ada libur dikit, muncul minta duit. Lebaran, Natal, Tahun Baru, sampai menjelang Kenaikan Kelas aja bisa jadi alasan!"

Arlen menatap hopeless ke arah Kais, yang cuma bisa nyengir. Rumah Della yang tadinya bernuansa zen minimalis, langsung meriah chaos saat ketiga adik Kais di-summon.

"Lucu-lucu adek lo, Is. Kapan-kapan gue bawa kantor, boleh? Kayaknya tim gue bakalan bisa dapat ide banyak kalau ada mereka," Della berbisik. Kais menoleh, lalu menyadari kalau Della gak bersikap sinis, dan juga gak bercanda, beneran mau bawa tiga adik rusuhnya ke kantor.

Jelang tengah malam kedua, dengan Dea yang masih bersembunyi dari Shiradj, ponsel Kais meluncur ke Pamadegan. Waktu semakin singkat untuk mereka menemukan apa sebetulnya yang jadi benang merah hubungan Pak Modjo (usulan dari Karen saat lihat nama super panjang di kartu nama) dengan Shiradj. Hubungan yang bisa jadi merupakan kunci untuk menjebak lelaki superpower itu dan mengenyahkannya dari hidup Kais dan Dea.

"Hidup kamu ramai betul, MusiKais," Ren berkomentar sambil membawakan nampan berisi gelas-gelas berasap, "Saya anak tunggal, hidup saya sepi sekali, apalagi setelah ibu saya meninggal dan saya cuma berdua sama ayah. Iri saya, sama orang-orang bersaudara banyak..."

Di belakangnya, Dea menyusul, bawa beberapa toples cemilan kering. Ia duduk di samping Karen dan ikut menyimak diskusi ketiganya sambil bantu Ren bagi-bagi minum hangat.

Sejak awal, Kais, dengan pikiran awam yang hobinya nonton film thriller, berpikiran kalau pasti ada semacam pencucian uang yang dilakukan. Ini yang membuatnya sangat ragu menyentuh uang hasil penjualan perusahaan selama beberapa bulan. Tapi dia gak terlalu paham soal cara dan metodenya. Ya gimana, belajar soal money laundering aja dari Jason Statham dan Leonardo diCaprio. Sementara tiga adiknya sibuk ngobrol bikin skenario absurd bersama Dea dan Ren yang kelihatan bersemangat, Kais berpindah ke baby grand piano yang disimpan di salah satu pojok.

Musik adalah hal yang sering membuatnya merasa menemukan banyak jalan keluar, sejak masih kecil dulu. Ia belajar main piano, sementara saudara-saudaranya yang lain les bela diri (Kian), dance (Karen) dan Kumon (Karli). Kais sudah nyaris menekan tuts piano dan membiarkan jemarinya menari lincah memainkan lagu apa saja. Tapi kemudian ia berhenti.

Ia masuk ke kamar Dea, dan berwudhu untuk salat dan minta petunjuk pada Tuhan.

***

Kais terbangun di kasur yang asing, tapi ia mengurungkan niat untuk duduk, saat merasakan tangan Dea melingkari pinggangnya. Ia mengingat-ingat semua kejadian beberapa hari terakhir. Bagaimana adik-adiknya membantu semaksimal mungkin, lalu Della, Ren dan Arlen yang juga berusaha keras mendapat informasi ini itu...

Semalam, Kais membubarkan mereka, memaksa semua untuk pulang dan kembali ke hidup masing-masing selama beberapa hari. Ide yang muncul begitu saja, setelah pengaduannya pada Tuhan dalam salat entah apa.

"Kamu yakin, K?" Dea bertanya, ketika keduanya bersiap tidur. Kais mengangguk.

"Sepertinya kita butuh waktu untuk berpikir jernih. Dari kemarin kita rusuh sendiri berusaha ini itu. Padahal, semua masalah itu pasti punya jalan keluar. Cuma seringnya kita gak bisa lihat, karena lupa kalau yang ngatur segala sesuatu itu Allah. Saat ini, aku merasa point of view kita sangat terbatas, kita fokus pada kesalahan Shiradj. Niat kita juga bias, terdistraksi nafsu dan keinginan untuk membalas dendam, menjerumuskan, menjebak orang lain. Negatif, gitu, Dey..."

Dea bengong sesaat melihat Kais bermonolog.

"Jadi? Kita udahan dulu ini? Kamu yakin? Menurut Arlen, Shiradj cuma akan bersikap abai sama urusan bisnis selama dia masih percaya aku diculik orang. Dan mengingat dia punya cara dan uang untuk ngurusin ini, sepertinya sebentar lagi dia sadar kalau aku gak kemana-mana..."

"Kita luruskan niat, istirahat, dan besok-besok kita pikirkan lagi. I know, it sounds so unproductive, but we're not even productive right now. We're just being busy and in a big rush...for nothing."

Dari ekpresinya, Dea tampak ingin mendebat, tapi kemudian mengangguk. Semua orang akhirnya pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan Della, Kais dan Dea.

Pagi ini, Kais bangun dengan harapan, keyakinan, niat dan ide baru. Ia meraih ponsel Dea, dan menelpon Karli.

"Bro..." Karli menjawab dengan suara jernih. "Gue baru bangun mau subuh. Dan gue dapat wahyu entah apa semalam, gue tau apa yang harus kita lakukan."

"Gue juga. I'll see you in your office for lunch, Bro."

Merrily Marry MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang