Incoming Storms

4.5K 1K 172
                                    

Karena sudah di Papua dan dapat mobil pula, Kais gak menyia-nyiakan keliling-keliling dan jalan-jalan. Termasuk orang yang sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan, sama seperti di Pamadegan kemarin, dalam beberapa hari aja semua orang sekitar udah akrab dengannya.

Minggu kedua, Kais mulai bosan karena gak ada kerjaan, dan ketika nonton berdua Dea malam-malam, ia mendapat ide. Mereka lagi nonton series horror dan Kais yang aslinya penakut banget, gak bisa menolak. Apalagi ditambah peluk-peluk pas adegan ngagetin.

"Ini siapa sih, yang bikin efek-efek suara beginian, K? Kalau yang bikin musik kan ada tuh score musician. Kalau efek orang jalan, jatuh-jatuh segala ini apa namanya?"

"Foley artist." Kais menjawab segera. Sepanjang karirnya, Kais menganggap dirinya seniman bunyi, bukan sekedar musisi. Banyak sekali musik yang dia buat, yang bagian-bagian besarnya adalah hal-hal normal di kehidupan sehari-hari.

Lalu dia kepikiran untuk merekam suara di hutan dan site pembangunan.
Entah kenapa tapi Kais merasa damai banget aja mendengar suara-suara itu, yang tiap hari mirip tapi selalu berbeda. Dulu, Kais hampir setiap saat mendengarkan musik. Lari, masak, beres-beres, kerja, nyetir, all the time. Sekarang ia mendapati telinganya masih mencari-cari musik lain dari hal-hal sederhana di sekitarnya.

Ide itu didukung sepenuhnya sama Dea, yang besoknya memberi Kais ID Pass untuk keluar masuk kompleks dan minta anaknya Mama Tina, pemuda 14 tahun bernama Habel menemani Kais ke hutan untuk jalan-jalan.
Sepanjang minggu kedua, Kais merekam suasana hutan dengan hand recorder yang masih selalu dibawanya kemana-mana.

Malam sebelum Kaia dan Dea pergi ke pantai, ia mengirim "Jungle Symphony" -- rekaman 10 menit berisi suara hutan yang sudah rapi diedit ke email MusiKais. Gak ada musik, hanya atmosfer yang bikin Kais membayangkan suasana magis di hutan berumur ribuan tahun.

Lalu Kais lupa. Sibuk ber-weekend getaway sama Dea selama 4 hari, menikmati matahari, istri yang cantik dan makin nyambung kalau ngobrol, gak mikirin apa-apa selain bersenang-senang siang malam.

"K..."
"Hmm?"
"Masa buku nikah kita hilang dalam pengiriman..." Dea berkata, masih memandangi ponselnya.
Mereka sedang di jalan kembali ke mess, di hari kerja karena Dea ambil libur gabungan.

"Serius? Kok bisa? Dari mana ke mana?"
"Dari rumah Sukabumi ke apartemenku. Ini ada SMS dari ekspedisi..." Dea menggelengkan kepala, "Padahal buku nikah lho, ya. Bukan photocard BTS. Masih aja ada yang ngambil."

"Trus? Gimana dong?"

"Untungnya, paman udah sempat scan dan bikin kopiannya. Tapi kita tetap harus ngurus surat kehilangan ke kepolisian, bikin foto dan kasih KTP ke KUA Pamadegan sana, K."

"Will it be okay?" Kais mendadak resah.
"Takut dikira kumpul kebo sama aku?" Dea membalas.

"Sekompleks mikirnya kita kumpul kebo, kali, Dey." Kais mengacak kerudung Dea yang tertawa lepas. Gara-gara nikah dadakan, KTP masih beda, dan kelakuan Dea yang ternyata juga misterius di tempat kerja, banyak mbak-mbak istri kepoin mereka. Untungnya gak pada ngeh kalau ini Kais "yang itu" gara-gara rambut dan kumis-jenggot makin gondrong. Dia dipanggil Mas K, yang (katanya sih) suaminya Mbak Dea.

"I don't mind." Dea mendaratkan ciuman di pipi Kais.

Ini nih. Semakin mengenal Dea, Kais cukup dibuat amazed dengan betapa ekspresifnya dia. Dea masih misterius soal banyak hal, tapi tidak dengan perasaannya. Kais menikmati banget dapat tatapan lama-lama, dipeluk-peluk, dan ditawarin banyak cium setiap kali Dea di rumah.

"You're enjoying rumors. I am sick of it." Kais menghembuskan napas keras-keras. "Kirain jauh-jauh in the middle of nowhere gini bisa jauh-jauh juga dari orang kepo. Taunya masih aja."

Merrily Marry MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang