[4]

198 173 101
                                    

Happy reading

"Jangan menilai buku hanya dari covernya. Sebab kamu tidak tahu seberapa penting isi bacaan setiap bagiannya."

Saat ini Sahna, Oca, Usi, Dhea, dan Zahra sedang berada di kantin. Keadaan kantin yang ramai membuat mereka berdesakan.

Tiba-tiba Dhea bertepuk tangan. "PENGUMUMAN PENTING!"

Sahna memejamkan matanya sebentar, sahabatnya ini, suka sekali menjadi pusat perhatian.

"Mulai hari ini, yang boleh duduk di bangku kantin cuma yang jomblo aja ya guys ya!" titah Dhea kemudian.

Tentu banyak suara yang menolak mentah-mentah usulan konyol Dhea.

Sahna menyubit lengan Dhea kuat. "Ngerusuh terus! Mending lo pesen makan sana."

"Aduh, atiti au Na," ujar Dhea menye-menye sembari mengusap lengannya.

"Kalian mau pesen apa?" Tanya Dhea kepada keempat sahabatnya itu.

"Nasi uduk."

Atensi kelima gadis tersebut teralihkan pada Izar yang berdiri di belakang Sahna.

"Lo mau nasi uduk?" tanya Dhea memastikan.

"Sahna pesenin nasi uduk." Ulangnya sekali lagi, lebih jelas.

"Tapi aku mau mie ayam," ucap Sahna membantah permintaan Izar barusan.

"Gabung dimeja kami aja, masih muat buat kalian berlima," kata Izar tak menggubris ucapan Sahna. Sepertinya ia enggan menimpali ucapan Sahna karena ia tau pada akhirnya Sahna akan menang. Pintar sekali bukan? Akhirnya Sahna nurut saja.

Oca menatap Usi, lalu di hadapan mereka, ada Dino, lelaki yang Usi sukai. Oca tersenyum licik, sedikit menggoda keduanya tak apa sepertinya.

"Usi, kita duduk di meja yang sama loh sama Dino." Goda Oca dengan intonasi yang meninggi. Dino melirik Usi sebentar.

"Ya gak-papa," jawab Usi dengan senyum tipis. Wah, stay calm rupanya ia.

"Zar ntar gue nebeng ya pulangnya," celetuk Oca saat teguk terakhir dari minumannya telah tandas ia telan.

Izar terdiam. Ia kan bersama Sahna. "Ogah Ca. Naik ojol kek, uang lo banyak malah nebeng ke gue." Tolak Izar akhirnya.

"Yaelah Zar sama sepupu sendiri gitu amat lo," cibir Oca.

Dhea mengerutkan keningnya. Oca seperti orang yang tidak tahu diri.

"Yaudah Zar sama Oca aja nggak apa-apa. Aku nebeng sama Zahra. Iyakan Ra?" ujar Sahna sembari menatap Zahra.

Sebenarnya Sahna tidak suka saat Izar membonceng gadis lain selain dirinya. Namun ini Oca, sahabatnya, sepupu Izar. Sahna akan mengesampingkan egonya.

"Yoi. Gue mah ngalur aja." Zahra mah terserah, jangankan bonceng Sahna, bonceng tigapun hayuk.

"Yaudah, ya, sekali ini aja. Besok nggak ada nebeng-nebeng lagi." Izar menyetujui dengan nada jutek. Sedangkan Oca mengangguk semangat.

*****

Bel ditekan, mengeluarkan suara nyaring yang membuat para murid bersorak. Pelajaran sudah berakhir, waktunya pulang.

"Guys, kita duluan, ya." Dhea bersuara sembari melambaikan tangannya.

Dari kejauhan Oca melihat Izar keluar dari kelas. "Itu dia Izar, Ra, Na, gue duluan ya," pamit Oca, lalu ia berlari-lari kecil menghampiri Izar.

Sahna berdecak kesal, mengapa sahabatnya menjadi menyebalkan begini, sih? Ya tuhan, izinkan Sahna menarik rambut pendek Oca.

"Yang, kamu nggak apa-apakan sama Zahra?" tanya Izar memastikan.

"Oca nih, kekeh banget mau nebeng," sambungnya dengan nada mengadu.

"Nggak apa-apa kali Zar, sama sepupu sendiri nggak boleh pelit," jawab Sahna sembari mengulas senyum terbaiknya. Cih! Lain di bibir lain di hati, munafik sekali.

Oca mulai memakai helm yang biasa Sahna pakai. Wah! hati Sahna bagai diremas.

Saat ingin menaiki motor maticnya, Zahra terkejut melihat ban belakang motornya kempes. "Loh ini kenapa kempes sih?" Zahra bermonolog.

Atensi Sahna teralihkan pada ban motor Zahra yang kempes.

"Gue nggak usah nebeng deh, entar nelpon supir aja."

"Duh sorry banget, Na, gue juga nggak tau kalau bakal kempes," ucap Zahra tak enak hati. Ia menatap Sahna iba, ditinggal pacar pulang duluan, kini Sahna juga terpaksa harus ia tinggalkan.

Sahna terkekeh kecil. "Sans, supir gue nganggur di rumah."

Setelahnya, Zahra pergi bersama motor kesayangannya itu.

Kini tinggal Sahna dan beberapa siswa saja yang masih ada di sekolah. Melangkah menyusuri jalan, Sahna mulai keluar dari gerbang menuju halte. Tangannya merogoh saku rok abu-abunya, mencari keberadaan ponselnya.

Namun, ternyata ponselnya... Mati. "Ah, sial," umpat Sahna kesal.

Kini Sahna seperti anak lainnya, duduk di halte, semoga saja supirnya memiliki inisiatif untuk menjemputnya karena dirinya tak pulang-pulang.

Tak sengaja, indra penglihatannya menangkap wanita paruh baya yang sering memperhatikannya dari kejauhan, sedang berdiri di bawah pohon, lagi. Entah mengapa setiap Sahna menunggu di halte, wanita tua dengan pakaian lusuh itu pasti selalu memperhatikannya.

Sekarang juga, dengan langkah besar Sahna menghampiri wanita itu. Rasa penasarannya kian membesar dan semakin hari semakin mendesaknya untuk mencari tahu, pasti ada maksud dibalik tatapan itu. Dengan cepat Sahna berlari menyebrangi jalan, ia tak boleh kehilangan kesempatannya.

Saat tau Sahna berlari kearahnya, wanita itu segera berlari menjauh, tetapi sepertinya hari ini keberuntungan berpihak kepada Sahna, karena dengan gesit Sahna dapat mencekal pergelangan tangan wanita itu.

Raut panik dan takut terpatri jelas di wajah wanita itu, dengan takut-takut ia menatap Sahna. Tangan Sahna gemetar, ia juga takut. Takut bila wanita yang kini berada dicekalannya ini ternyata brnar-benar tidak waras. Tapi setelah dilihat lagi, sepertinya opini banyak orang yang ia dengar itu tidak benar. Wanita ini ... hanya lusuh, sehingga kelihatannya seperti orang gila.

Dengan keberanian seujung kuku, Sahna bertanya, "Ibu, kenapa selalu ngeliatin saya pas saya duduk di halte?"

Mata bulat wanita itu berair. Bulu matanya yang lentik perlahan basah, pipinya yang kusam juga basah akibat air mata yang tak mampu lagi dibendung oleh pelupuk mata.

"Kamu ... tau?"

"Tentu tau, ibu memperhatiin saya secara terang-terangan dari bawah pohon yang sama setiap harinya."

Tiba-tiba wanita itu mengusap pipi Sahna dengan pelan, dan memperhatikan wajah Sahna dengan sangat lekat. "Kamu cantik banget, Sahna."

Mulut Sahna terbuka dengan sendirinya. Sahna cengo dengan pernyataan wanita di hadapannya barusan. Wanita di hadapannya ini benar-benar membuatnya penasaran bukan kepalang.

"Maaf, Bu. Ibu siapa? Kok tau nama saya?" Sahna bertanya dengan nada halus, maunya Sahna, jawab saja yang jelas, maka Sahna akan berhenti bertanya.

Wanita itu terlihat berfikir. "Nama ibu ... Rumi."

Oke, jawaban yang cukup jelas meskipun lambat. Setelah menyebutkan namanya, bu Rumi ternsenyum getir lalu berlari menjauh. Entah kemana, Sahna tidak berniat mengejar.

Akan Sahna ingat. Rumi.

Namanya tidak asing, namun entah siapa.

Saat hendak berbalik Sahna dikejutkan dengan kehadiran seseorang.

"Oi!" Oca menepuk pundak Sahna.

"Mau lo ngomong sama orang gila? Kalo gue mah ogah. Takut dikejar." Oca bergidik ngeri setelah mengucapkan itu.

"Dia nggak gila, Oca." Tekan Sahna.

TBC♡

Jangan lupa votenya qaqaaa^^

Sahna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang