30.

79 37 172
                                    

Happy reading

Masih di hari yang sama, namun kini siang telah berganti malam. Sahna duduk di depan jendela kamarnya, sial sekali nasibnya. Dua kali dipermainkan oleh lelaki.

Sahna memutuskan untuk keluar rumah, duduk di bawah pohon mangga yang tadi pagi sempat membangkitkan emosinya. Udara segar menyeruak, membuat Sahna memejamkan matanya sejenak.

Sahna menatap lekat kontrakan yang ada di sampingnya. Kontrakan itu kini sudah kosong, yang semula dipenuhi cahaya terang kini hanya gelap yang mengisi ruangan tersebut.

Sahna membuang pandangannya, tidak perlu dikenang. Toh kini hubungannya dengan Raffa sudah berakhir, Raffa juga tidak menghubunginya sama sekali. Mungkin dengan bersikap seperti ini, Raffa ingin menunjukkan sifat asli lelaki yang sesungguhnya. Datang dan pergi sesuka hati.

Sedang serius bergulat dengan fikirannya, Sahna menolehkan pandangannya pada mobil yang berhenti tepat di depan kontrakannya.

Pengendara mobil tersebut menurunkan kaca mobilnya. "Sahna!" panggilnya, kepalanya ia cembulkan keluar.

"Ish, ganggu aja." Dumel Sahna pelan.

Sahna tak beranjak dari duduknya. Niat ingin menyendiri malah dianggu oleh kedatangan Izar, lagi pula dari mana sih Izar tau alamat rumahnya?! Reseh. Sahna masih duduk nyaman di bawah pohon mangga, pura-pura tidak mengetahui kedatangan Izar. Biarkan saja Izar pergi karena merasa tidak dianggap.

Tapi, bukan nya pergi Izar justru mendatangi Sahna, di tangannya ada sekantor plastik besar yang berisi penuh.

"Ngapain?" tanya Sahna malas.

"Nih," Izar menyerahkan sekantong pelastik tadi dengan senyum cerah di wajahnya.

"Gue kan nggak minta," balas Sahna ogah-ogahan.

"Iya, tau. Tapi niat aku bukan mau ganggu kamu. Ayo dong terima, rezeki nggak boleh ditolak," bujuk Izar, harap-harap pemberiannya akan diterima oleh Sahna.

Akhirnya Sahna menerima pemberian Izar. Lumayan juga, toh niat Izar baik. "Makasih."

Izar mengusak pelan rambut Sahna. Setelah itu ia kembali ke mobilnya, lalu melaju pergi.

*****

"Kita putus aja." Dino meletakkan kembali sendok yang ia pegang guna menyuapkan seseondok nasi goreng ke mulutnya.

"What?! Gila lo?" Wanita di hadapan Dino menggebrak meja kelas dengan spontan. Serly namanya. Membuat orang di sekeliling mereka terperanjat.

Dino menganggukkan kepalanya. Terserah ia mau dicap apa.

"Baru semalem kita jadian, dan sekarang lo minta putus?" tanya Serly tak habis fikir. Apa-apaan? Ia merasa dipermainkan.

Dino menghembuskan lelah. "Nasi goreng buatan lo rasanya nggak sama kayak buatan Usi," ungkapnya jujur, membuat Serly menganga lebar.

"Gila ya. Gue ya gue, mana bisa disama-samain." Serly menutup wadah makan bermerek tupperware itu dengan perasaan dongkol. Setelah itu ia keluar dari kelas Dino.

Dino menatap heran kepergian Serly. Apa salahnya coba? Padahal Dino memutuskannya dengan cara baik-baik, tetapi ia tetap saja kena amuk.

"Gimana ya, caranya supaya Usi mau balikan lagi?" gumamnya sembari merancang strategi.

"Gue tau." Izar menepuk dadanya beberapa kali, seolah-olah ia adalah seorang pakar.

"Halah!" Dino mengusap muka Izar. "Kalau balikan sama Sahna aja lo nggak bisa, nggak usah sok-sok deh," tambahnya.

"Ih! Tapi gue udah ada kemajuan, brodi!" Pamer Izar Sombong.

Dino menghadapkan tubuhnya ke Izar. "Serius?"

"Ck! Iya lah! Nggak percaya amat sih lo sama gue." Izar berdecak sebal. Sahabatnya ini selalu saja meragukannya.

"Yaudah. Gimana caranya?" tanya Dino antusias.

"Gini, Usi kan kalem. Lo bikinin dia gombalan, tapi gombalannya jangan alay! Lo kan biasanya suka alay."

"Ooo ... Gitu ya?" Dino mengangguk-anggukkan kepalanya faham.

"Iya dong. Gue juga mau buatin gombalan buat Sahna. Tau nggak sih? Semalem dia nerima pemberian gue. Aaaa seneng banget," jerit Izar tertahan, telapak tangannya membekap mulutnya, wajahnya berseri-seri bak mendapatkan uang segepok.

"Kira-kira gombalan gimana yang cocok buat Sahna?" tanya Izar meminta pendapat Dino. Supaya gombalannya nanti semakin topcer.

"Emm, lo kan jago matematika. Gimana kalau gombalan nya ada campuran-campuran matematika nya gitu? Biar estetik Zar." Usul Dino girang karena mendapatkan ide yang cemerlang.

"Wah! Bener banget bestie!"

*****

"Na, makan di taman belakang, yuk?" ajak Oca, tangan kanannya mengangkat wadah makan, lalu ia goyang-goyangkan.

"Nggak bawa bekal, Ca."

"Barengan."

Sahna nampak berfikir, Sahna pingin makan soto, tetapi tidak tega juga menolak Oca. Apalagi Oca terus mengusap perutnya. "Oke."

Keduanya menuju taman belakang yang tidak jauh dari kelas mereka. Entah karena apa tiba-tiba Oca ingin makan di sana, mungkin karena suasana yang cenderung sepi sehingga memberikan kesan tenang dan nyaman.

Oca menyendokkan sepucuk nasi dengan lauk pauknya. Biarkan saja Oca duluan, toh Sahna tidak terlalu lapar. Fikir Sahna, namun tindakan Oca selanjutnya membantah fikiran Sahna, sendok berisi nasi yang dipegang Oca, ia suapkan ke mulut Sahna.

Dengan keadaan tidak siap Sahna menerima suapan mendadak tersebut. "Nggak usah disuapin kali, Ca. Gue bisa sendiri." Dumelnya kemudian.

Keduanya masih setia duduk di bangku taman, meski bekal mereka sudah habis dan sepuluh menit telah berlalu. Sahna memperhatikan Oca, perutnya sudah mulai berbeda. Saat Oca duduk, rok spannya mulai mengembung, padahal Oca ini kurus tetapi perutnya seperti orang gemuk.

Tangan Sahna terulur mengusap perut Oca. "Sehat-sehat ya, ponakan."

Oca tersenyum memandang tangan Sahna yang menempel pada perutnya. Nyaman sekali rasanya diusap seperti itu.

"Elus terus ya, Na."

Oca memejamkan matanya. Sahna terus mengusap perut Oca, bagai mana ya rasanya hamil? Fikir Sahna berkelana.

"Ahh ... " Sahna membulatkan matanya. Dengan cepat ia menarik tangannya dari perut Oca. Apa tadi? Oca mendesah?

"Na, kok udah?" protes Oca melayangkan tatapan tidak terima.

"Udah masuk, Ca. Ayo."

*****

"Pulang bareng gue yuk?" Zahra mengajak Sahna.

"Gue udah dapet tebengan yang searah Ra. Makasih." Tolak Sahna halus.

"Bareng gue?" Tatapan Zahra bergilir kepada Oca.

"Grab."

"Bareng gue yuk?"

"Dijemput, Ra." Usi tersenyum tidak enak.

Zahra mengembungkan pipinya. Tatapannya beralih kepada harapan terakhirnya, Dhea. "Bareng gue yuk?"

"Kuy lah!" jawab Dhea semangat sembari memukul meja. Lalu berdiri menggendong tas ranselnya.

"Aaa, sini-sini peluk," ujar Zahra lebay sembari mengulurkan kedua tangannya. Dan parahnya lagi, uluran tersebut disambut hangat oleh Dhea.

"Lo emang bestie gue yang paling ngerepotin," puji Zahra sembari menyunggingkan senyum manis, setelah pelukan mereka terlepas.

"Srius? Wah! Terimakasih," balas Dhea berbinar.

Tbc.

Haiiii! Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah ya.

Sahna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang