38.

82 24 161
                                    

Happy reading


Sahna mendorong kuat tubuh Oca, hingga pejaman matanya terbuka. Semua yang terjamah oleh Oca terasa nyeri, Sahna menghapus kasar air liurnya yang menetes.

"Hey! Sikap apa ini? Bukannya lo bilang lo nerima gue apa adanya, kan?" Oca bertanya sembari memicingkan matanya.

"Iya. Gue nerima lo apa adanya. Tapi, bukan dalam konsep yang kayak gini, Ca." Sahna tak habis fikir, air matanya terus mengalir tak henti, menangisi keadaan sahabatnya.

"Katanya lo sayang gue!" bentaknya tak terima.

Sahna menggeleng tegas. Ya tuhan. Apakah Sahna salah bila mengatakan sayang kepada sahabatnya?

Air mata Oca ikut meluruh melihat respon Sahna. Itu tandanya selama ini ia diberi harapan palsu?

"Na, lo jangan kayak gini. Kita bisa bicarain ini baik-baik, siniin tangan lo, usap lagi anak kita." Sahna tak habis fikir. Oca membujuknya?

Sahna menghapus air matanya kasar. "Gue nggak nyangka lo kayak gini, Ca."

"Sejak kapan lo lesbi?" tanyanya sembari membuang arah pandang.

Oca tersenyum lebar, sangat lebar, matanya terpejam, seperti membayangkan sesuatu yang sangat membahagiakan. "Sejak kita mandi bareng waku kelas sembilan, lo cantik banget, Sahna. Lo imut, lo baik. Waktu itu gue berfikir, kalau aja gue cowok, pasti lo udah gue jadiin pacar," ujarnya menatap Sahna penuh binar.

"Tapi, setelah gue pikir-pikir, untuk menjadikan lo pacar, gue nggak perlu jadi cowok, kan?" tanyanya antusias, seolah berharap jawabannya benar.

Sahna menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Oca. "Jauhin gue, Ca."

"Lo tau, mahkota gue yang benar-benar gue jaga, pada akhirnya gue serahin ke Izar. Itu semua demi lo, Sahna. Padahal, gue pingin banget nyerahin itu untuk lo."

Bagaimana ceritanya? Oca pasti sudah gila.

"Gue cinta banget sama lo, Sahna. Gue bahkan bunuh kucing yang udah nyakitin, lo, gue celakain Rima yang udah rebut kebahagiaan lo."

Tubuh yang Sahna sandarkan pada tembok kini merosot begitu saja. Seketika ia membenci Oca, ia geli terhadap Oca, ia ingin menjauh dari Oca.

"Lo gila!" Jerit Sahna tepat di depan muka Oca, setelah itu ia berlari menaiki anak tangga rumah Zahra.

Melihat Sahna berlari, Oca tak tinggal diam. Ia ikut mengejar Sahna yang beberapa langkah ada di depannya, namun, dengan gesit Sahna memasuki sebuah kamar yang menjadi tempat ibunya tidur malam ini.

Tanpa mereka sadari, ada seorang gadis yang sejak tadi mendengar pembicaraan mereka.

*****

Sahna dan Rumi pulang ke kontrakan saat langit masih gelap. Sebenarnya Sahna merasa tidak enak kepada para sahabatnya, namun ia juga merasa tak nyaman berada disatu atap yang sama dengan Oca.

Dengan dalih Rumi tidak nyaman tidur di rumah orang lain, akhirnya dengan berat hati Zahra mengiyakan.

Rumi pun juga bingung mengapa Sahna tiba-tiba ingin pulang, padahal yang ia tau, pagi ini para remaja itu merencanakan akan masak bersama.

Namun, setelah hari dimana mereka merayakan ulang tahun Sahna, terhitung sudah satu minggu berlalu, kini Sahna dan ibunya menghilang bagai ditelan bumi. Dan itu menjadi tanda tanya besar.

Hanya ada selembar surat setiap harinya yang menerangkan kepada Guru bahwa Sahna sedang ada kepentingan keluarga.

Sedangkan dilain tempat, Sahna sedang asyik memotret Rumi.

"Ibu, geser sini dikit," titahnya pada Rumi yang menjadi model mendadak.

"Udah dong, Na. Ibu kayak anak abg pakek topi lebar kayak gini," protes Rumi yang tidak pd mengenakan topi pantai berwarna merah muda milik Sahna.

Sahna terkekeh geli melihat raut masam ibunya.

"Sekali lagi, Bu. Sekarang geser ke kanan, biar gunungnya keliatan."

Setelah puas memotret ibunya, kini keduanya kembali ke hotel. Sejak seminggu yang lalu, Sahna bersikeras mengajak Rumi untuk berlibur. Selain Sahna memang menginginkannya, alasan lainnya adalah ia ingin menghindar dari Oca.

Dengan menggunakan uang yang selalu ditransfer Andri seminggu sekali untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua, akhirnya pilihan Sahna jatuh pada keindahan pulau Dewata Bali.

*****

Lagi-lagi Oca menangis sembari memeluk sebuah pigura yang berisikan gambar dirinya dengan Sahna yang sedang makan es krim.

Dengan sekuat tenaga, lagi-lagi ia membanting pigura yang baru saja ia beli, pecahan kaca bertaburan dimana-mana.

Sedangkan tanpa Oca ketahui, kedua orang tuanya kini tengah berada di sebuah caffe. Menunggu seseorang datang, seseoang yang akan memberikan informasi besar kepada mereka tentang anaknya.

Belum lama menunggu, sosok yang ditunggu itu kini menghampiri keduanya.

"Om, Tante, udah nunggu lama, ya?" Ia menduduki sebuah kursi yang berhadapan langsung pada kedua orang tua Oca.

"Barusan, Sayang. Jadi gimana? Kamu udah tau siapa lelaki yang ditaksir Oca?" tanya Mama Oca pada intinya. Untuk berbasa-basi, mereka tidak bisa, sebab mereka adalah orang yang diburu oleh pekerjaan.

"Bukan lelaki, Tante, tapi perempuan. Tante bisa tonton video ini supaya omongan aku nggak terdengar seperti orang yang lagi bercanda." Ia menyerahkan ponselnya dan menunjukkan video yang ia ambil seminggu yang lalu di rumah Zahra.

Lagi-lagi air mata mama Oca meluruh, sedangkan papa Oca mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ini benar-benar di luar batas. Oca mengandung tanpa memiliki suami, lelaki yang menghamilinya pun sampai saat ini tidak menemui mereka berdua, lalu kini ia diterpa kenyataan bahwa anak semata wayangnya itu ternyata memiliki kelainan orientasi seksual.

"Berarti dia bener-bener kekeh buat mempertahankan kandungannya?" Papa Oca angkat suara.

"Iya, Om," jawabnya yakin.

"Nggak ada jalan lain. Oca harus kita kirim ke pengasingan, dengan menjadi orang yang terasingkan, semoga Oca menyadari kesalahannya."

"Ini yang terbaik buat lo, Ca," ujar Dhea mengembangkan senyumnya, sembari menatap kepergian kedua orang tua Oca.

Bukan tanpa alasan Dhea melakukan ini, mungkin Dhea memang terkesan terlalu mencampuri urusan orang lain, tetapi mengetahui fakta bahwa yang mencelakai mamanya adalah Oca, membuat Dhea ingin membalas tindakan Oca, dan Dhea juga tentu tidak setuju Oca mencintai kakaknya, Sahna.

Setelah bergelut pada fikirannya, akhirnya Dhea mengambil sebuah keputusan, yaitu memberitahukan kedua orang tua Oca atas kondisi anaknya.

Dhea berharap, pembalasannya yang menyebabkan Oca terasingkan, dapat membuat Oca menjadi manusia normal kembali.

Tbc.

Ini Dhea yang begitu cute😩

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini Dhea yang begitu cute😩

Sahna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang