Happy reading.
Sudah seminggu sejak berakhirnya hubungan Sahna dan Raffa. Canggung masih menjadi selimut tebal diantara mereka berdua, meski akhirnya Sahna tau bahwa Raffa tidak selingkuh, namun, rasa kecewa masih melekat dalam dirinya. Entah kecewa karena ada wanita yang berbalas pesan dengan kontak Raffa, atau kecewa pada dirinya.
Sedangkan Raffa sebisa mungkin menghindar dari Sahna. Kini mereka sudah bersetatus 'mantan' jadi Raffa bingung apakah ia harus menyapa Sahna saat bertemu, seperti misalnya, "Hai mantan" begitu?
Raffa akui ia terluka melihat Izar yang semakin hari semakin gencar mendekati Sahna lagi, namun ia juga salut kepada Izar yang tak kehabisan gombalan setiap hari. Meski terlihat menyebalkan, namun Izar selalu sukses membuat Sahna tertawa.
Bolehkah Raffa meng klaim bahwa tawa merdu Sahna hanya untuknya?
Rasa cemburu menyelimuti Raffa, namun kaca mencerminkan siapa dirinya bila dibandingkan dengan Izar, apakah kini saatnya ia sadar diri?
Ingin rasanya Raffa ber guru pada Izar, dari awal Raffa sudah bilang kan, ini adalah kali pertama ia berpacaran.
"Mungkin gue terlalu kaku." Raffa mengulum bibirnya.
Raffa tidak faham caranya menjelaskan, dan terlalu patuh saat Sahna meminta hubungan mereka berakhir. Bukan, bukan Raffa menginginkannya. Hanya saja, jika memang ini kemauan Sahna, ia bisa apa?
Manik matanya menatap dua insan di depan kelas, situasinya terbaca sekali bahwa Izar terus mengikuti langkah Sahna. Apakah ia harus mengikuti jejak Izar? Sebab kini status mereka sama, yaitu mantannya Sahna.
"Lo reseh banget sih, berhenti ngikutin gue, Zar!" sentak Sahna kesal.
Oh yaampun. Mereka dekat sekali. Raffa merasa meski statusnya dan Izar sama, namun posisi Izar selangkah lebih maju dari dirinya yang hanya membisu.
Dari tempatnya duduk dengan urutan meja paling belakang, Raffa melihat Oca mengepalkan tangannya di atas meja. Aneh.
Bel sekolah berbunyi cukup nyaring, membuat Sahna meninggalkan Izar, dengan raut kesalnya.
"Lama banget?" tanya Oca dengan nada suara yang ... dingin?
"Tadi digangguin mantan," balas Sahna ringan.
"Lo nggak punya mantan. Jadi jangan sebut dia mantan." Tekan Oca.
Raffa mengerutkan keningnya. Oca kenapa, sih? Raffa mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak ia ketahui.
Apa jangan-jangan Oca menyukai Izar? Apa jangan-jangan Oca benci Izar? Apa jangan-jangan mereka terlibat cinta segitiga? Ya tuhan! Raffa seperti manusia rempong.
*****
Setelah melewati proses belajar di kelas, kini jam belajat telah usai. Waktu terasa begitu cepat berlalu, pagi berangkat, siang pulang, pagi berangkat, siang pulang.
Melihat perut Oca yang sudah mulai membesar, membuat Sahna khawatir. Sebab, sampai saat ini ayah dari janin tersebut belum mengetahui tentang hadirnya ia. Siapkah Izar? Maukah Izar menerimanya?
"Guys, kalian duluan aja. Gue mau ke perpus," ujar Sahna berbohong. Tentu saja berbohong, mana mungkin ia jujur.
Setelah keempat sahabatnya pergi, Sahna berlari kekelas Izar. Dari radius kurang dari satu meter, Sahna melihat Izar berjalan santai hendak menuruni tangga.
Dengan cepat Sahna menyambar pergelangan tangan Izar, dan membawanya lari kembali.
"Sahna kita mau kemana?" tanya Izar bingung sembari terus mengikuti Sahna dengan langkah besar.
Tak mendapat jawaban dari Sahna, tiba-tiba senyum lebar terbit di wajah Izar. Terselah lah Sahna ingin membawanya kemana, berlari bersama Sahna dengan tangan yang di cekal erat merupakan anugerah terindah bagi Izar saat ini.
Mereka tiba di belakang sekolah, lantai dua. Nafas keduanya terengah.
"Nafas kita bersahut-sahutan gini, kita kayak habis dari main bola, ya." Tersirat maksud tertentu saat ia mengucapkannya, setelahnya Izar tertawa bahagia.
Sedangkan Sahna hanya 'iya' saja. "Zar, kalau sekarang juga lo jadi seorang bapak, siap nggak?" tanya Sahna to the point. Ia harus memastikan jawaban Izar, agar Oca tidak kecewa.
Izar menatap Sahna penuh binar, pertanyaan macam apa ini? Apakah Sahna akan mengajaknya bercin---
"Woi!" Sahna menyentak lengan Izar. "Malah senyum, cepet jawab. Yaelah keburu pergi Zar angkotnya," desaknya dengan nada khawatir sembari melihat kebawah dimana beberapa angkot berjajar. Sahna tidak ingin jalan kaki lagi.
Baiklah, kini Izar siap lahir batin menjadi seorang bapak diusia muda. "Siap dong. Bapak dari anak-anak kita, kan?" tanyanya semangat.
Sahna menghentakkan kakinya kesal. Ternyata susah ya, berbicara dengan orang yang selalu berkhayal. Sahna berlari meninggalkan Izar yang terus tersenyum. Terserah Izar mau apa di belakang kelas, yang jelas, kini Sahna harus segera menaiki angkot sebelum angkot itu pergi.
*****
"Nak, bikinin Mama teh." Rima menaikkan kedua kakinya ke sofa.
"Yang manis," lanjutnya.
"Tapi dikasih garem sedikit. Biar manis asin kayak oralit."
"Mama diare?" Dhea mengerutkan keningnya.
Rima mendengus sembari melirik anaknya tajam. "Bukan diare, tapi ngidam," terang Rima sembari mengelus perut buncitnya.
Dhea menghela nafas. Rima selalu saja menyuruhnya ini dan itu dengan alasan ngidam. Dengan patuh ia laksanakan perintah Rima, dari dapur masih dapat ia dengar gerutuan Rima sebab Andri tak pulang-pulang.
"Sabar, Ma. Mungkin om Andri kejebak macet." Dhea memberikan secangkir teh kepada Rima.
"Halah, dia selalu begini. Jangan-jangan dia udah dapet hiburan di luar sana, sampe lupa sama istri."
Dhea termenung mendengar Rima yang terus mengoceh, apakah Rima bahagia bisa menjadi istri seseorang yang sudah beristri?
"Hujan-hujan begini, nggak tau apa istrinya butuh kehangantan," sungutnya sembari mengusap perut.
Dhea diam saja, bingung harus menanggapi apa. Ia hanya berdoa Rima tidak mengidam apa-apa lagi, sehingga ia bisa duduk dengan tenang.
"Nggak ngerti apa, anaknya pingin ditengokin bapaknya." Rima memandang perut buncitnya.
Dhea bergidik, gerutuan Rima semakin lama semakin menggelikan. Anaknya di dalam kandungan, bagaimana bisa Andri menengoknya? Ya ampun. Fikiran Dhea jadi berkelana.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahna ✓
Teen Fiction[SELESAI] [SEDANG DALAM TAHAP REVISI] Kamu tau bagaina rasanya memiliki pacar yang di rebut oleh sahabat sendiri? Alih-alih dendam, Sahna lebih memilih untuk mengikhlaskan. Tidak semudah itu untuk rela, hanya saja Sahna tidak ingin tenggelam dalam...