Happy reading
"Datang dan pergi itu hukum alam. Sambut yang datang, ikhlaskan yang pergi. Ingat, kamu perlu berdamai dengan dirimu sendiri."
Saat ini Sahna dan Oca sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah Sahna. "Tadi lo bilang mau nebeng sama Zahra, kok nggak jadi?" tanya Oca yang sedang mengendarai motornya.
"Gimana mau nebeng, Ca, ban motor Zahra kempes. Apes bener, mana hp gue mati." Lo juga ngapain nebeng sama cowo gue? Tambahnya dalam hati.
Sepuluh menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka berdua tiba di rumah Sahna. Kernyitan samar tercetak di wajah Sahna, kenapa rumah Sahna ramai? Tumben sekali.
"Ada acara apa, Na?" tanya Oca penasaran.
"Gak tau, oh, apa acara makan-makan, ya?" Tebak Sahna.
"Wah, iya nih kayaknya. Nenek Ani pasti bikin makanan banyak banget, Ca. Yuk masuk dulu," ajak Sahna dengan wajah berbinar. Oca tentu tak dapat menolaknya, keduanya berjalan tergesa ingin segera memasuki rumah.
Namun, saat pintu berada lima langkah dari posisinya berdiri, semua yang Sahna bayangkan tadi hilang seketika. Kini rasa penasarannya diiringi dengan detak jantungnya yang mulai tak beraraturan.
Di hadapannya, banyak orang mengenakan pakaian berwarna hitam, sebagian besar dari mereka menitikkan air mata, bahkan saat pandangan Sahna menyapu sekitar, ia melihat saudaranya yang berasal dari Bandung.
Sahna mengusir bayangain tiba-tiba menghantuinya. Ia harus segera bertanya pada nenek Ani. Dengan cepat Sahna memasuki rumah, matanya terbelalak kaget, namun dirinya tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ia berharap semuanya ini mimpi.
Namun, bahunya di guncang kuat oleh Oca, Sahna tersadar, ni bukanlah mimpi.
Sahna berjalan gontai memasuki rumah, pandangannya tak lepas pada sosok di hadapannya itu, sosok yang menjadi segalanya bagi Sahna, sosok yang kini telah terbujur kaku.
Sahna terduduk lemas dan terisak hebat. Nenek Ani-nya telah pergi. Ia mengusap kasar air matanya, lalu ia memberi sebuah kecupan di dahi sang nenek.
Ah! Rasanya menyesakkan sekali. Mengapa dahi nenek Ani terasa dingin?
Sahna beralih pada tangan neneknya, tangannya juga kaku dan dingin. Bukankah tadi pagi tangan ini masih mampu mengusap kepalanya?
Sahna cium tangan nenek Ani yang berada dalam genggamannya itu lamat-lamat, jika hari kemarin Sahna masih dapat menyalimi neneknya hingga hari esok dan seterusnya, maka hari ini adalah kali terakhir ia menyalimi tangan neneknya. Tidak ada besok, dan tidak ada seterusnya.
Sahna mengatur nafas perlahan sambil mengusap air mata yang terus jatuh. Di sampingnya, Oca tak berhenti mengusap bahu Sahna.
*****
Setelah jenazah nenek Ani dimakamkan di pemakaman umum Solo, pelayat mulai pulang kerumahnya masing-masing, hanya ada beberapa orang yang tersisa di pemakaman, diantaranya Andri, Sahna, sanak saudara mereka, dan para sahabat Sahna.
Sahna masih setia duduk di samping makam neneknya meski satu jam telah berlalu. Menatap makam itu lamat-lamat, inilah rumah baru neneknya.
Melihat Sahna yang terus menangis, Andri mendekap putrinya itu, menyalurkan sedikit semangat melalui usapannya pada kepala Sahna, dan menyalurkan rasa sedih yang sama pada anaknya.
Jika Sahna sedih karena kehilangan neneknya, maka Andri juga lebih sedih karena kehilangan ibunya.
*****
Tiga bulan telah berlalu sejak kepergian nenek Ani. Sahna sudah kembali ceria, meski ia sempat menjadi sosok yang tertutup dan pemurung. Namun tahap itu telah ia lalui, Sahna sudah mengikhlaskan kepergian nenek Ani.
Kini, tugas Sahna adalah mendoakan sang nenek agar tenang di alam sana. Mengenang berbagai kenangan yang sudah ia ciptakan bersama sang nenek, kenangan yang manis namun tak urung selalu membuatnya menangis.
Hari ini, Sahna dan kawan-kawan sedang bersantai disebuah caffe terkenal di Solo.
Izar duduk di sebelah Sahna, sejak tadi ia terus bertopang dagu memandangi kekasihnya begitu lekat.
"Ish, kenapa sih?" tanya Sahna risih.
Ice cream yang ada di mangkuk Izar berbentuk bulat. Setengah rasa vanilla dan setengah rasa coklat, karena Sahna sangat menyukai apapun yang rasanya vanilla, maka tangan Izar terulur untuk menyuapi setengah ice cream vanilla miliknya.
Sahna menerima suapan itu malu-malu. "Kamu sengaja ya, kayak gini biar aku makin sayang?!" haridiknya kemudian.
"Iya dong," jawabnya mantap.
Ah! Keterlaluan. Izar bahkan langsung mengakuinya tanpa mau berkilah terlebih dahulu. Kalau sudah begini, Sahna tak dapat lagi menahan senyumnya. Senyumnya bahagianya kini mengembang sempurna.
Yang lain hanya menonton diselimuti rasa bosan. Bagi mereka, Sahna dan Izar sudah terlalu dalam tenggelam dalam zona bucin.
"Mau mabar nggak?" tanya Dino.
Mendengar kata mabar Dhea langsung bersemangat. "Kuy login."
Zahra dan Oca juga mulai mengeluarkan ponsel mereka masing-masing.
"Gue udah level 23 tau Ca, semalem gue begadang sampe jam sebelas. Anjay gilee, keren nggak tuh? Keren lah masa enggak!" cerocos Zahra heboh.
"What?! Sekarang gue naik level 24 dong!" Zahra terpekik senang, telapak tangannya menutup mulutnya tanda ia tak menyangka.
Usi meringis menatap Zahra yang sedang over bahagia itu.
"Yaelah 24 aja bangga. Gue nih udah 26. Udah ganti kulit. Punya gue udah bisa dipakein bulu mata," balas Oca bernada sombong.
"Bacot! Jadi mabar nggak sih?" tukas Dhea melerai keduanya.
Setelah mendengar percakapan Oca, Dhea dan Zahra, kini Dino paham game apa yang di mainkan oleh mereka bertiga.
"Kalian main game ... Cacing?" tebak Dino.
Dhea, Usi, Zahra, dan Oca mengangguk semangat.
Seketika Dino menyesal mengikuti saran Izar untuk bergabung dengan para ciwi-ciwi. Tatapannya kini beralih pada Izar dan Sahna yang kini telah berpindah meja, yaitu di sisi pojok caffe. Ia menatap nyalang pada kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Bahkan yang mengajaknyapun kini sedang asyik pada dunianya sendiri.
Dino mengehembuskan nafasnya pasrah. "Gue pulang duluan, ya." Pamitnya pada para sahabat Sahna.
"Nggak jadi mabar?" tanya Usi.
"Ponsel gue lowbat."
"Kasian banget," gumam Usi menatap kepergian Dino.
TBC♡
Votenya jangan lupaaa><
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahna ✓
Teen Fiction[SELESAI] [SEDANG DALAM TAHAP REVISI] Kamu tau bagaina rasanya memiliki pacar yang di rebut oleh sahabat sendiri? Alih-alih dendam, Sahna lebih memilih untuk mengikhlaskan. Tidak semudah itu untuk rela, hanya saja Sahna tidak ingin tenggelam dalam...