Bagian Dua

405 53 3
                                    

"Bang Langit, bangun!"

Teriakan Bunda tidak memberikan efek apapun bagi Langit yang sedang tidur. Meski cahaya matahari sudah menerobos dari jendela kamarnya, tetapi tidur langit tidak terusik sama sekali.

Tidur adalah kegiatan favoritnya, dengan tidur maka ia tidak akan memikirkan apapun. Tidur selalu membuatnya tenang.

Ketukan pintu terdengar disertai suara Luna, adik Langit. "Bang Langit, bangun! Kasihan Bunda dari tadi teriak-teriak mulu! Bang Langit mau kalau Ayah yang turun tangan, ya?"

Ayah.

Nama itu yang selalu berhasil membuat Langit membuka matanya. Langit tidak suka berurusan dengan ayahnya, sekalipun banyak orang bilang kalau dirinya adalah cerminan dari ayahnya.

Dari segi fisik Langit sangat mirip dengan Ayah. Kalau kata Bunda, dia adalah wujud ayahnya waktu muda dulu. Sifat Langit dan Ayah juga sama, namun ada beberapa sifat yang membedakannya.

Dan Langit benci itu.

"Bang!"

"Iya," sahut Langit.

Dengan hanya memakai boxer dan kaos oblong putih Langit membuka pintu kamarnya. Di depan pintu sudah ada Luna yang sudah rapi memakai seragam sekolahnya dan jangan lupakan tas yang sudah di punggung gadis itu.

"Turun, Bang, kita sarapan bareng-bareng!" ajak Luna.

"Ada Ayah?"

Luna mengangguk.

"Masih kenyang."

Langit mana mungkin bisa sarapan bersama Ayah dalam keadaan seperti ini, belum mandi dan belum ada persiapan untuk berangkat sekolah. Yang ada nanti suasana hati Ayah akan memburuk.

"Abang tenang aja nanti Ayah biar ak---"

"Lebih baik kamu turun, Luna, Abang mau mandi."

Langit menutup pintu kamarnya kembali. Ia ingin sekali tidur lagi dan meringkuk dalam selimut, sayangnya itu tidak akan terjadi. Ia harus sekolah. Untuk bolos sekali saja tidak dapat ia lakukan.

Kata-kata Ayah selalu mendengung di kepalanya kala ia mengambil keputusan meninggalkan sekolah, meskipun hanya sehari.

Dan kata-kata itu sangat menyakitkan.

°°°

Di temani mentari pagi dan udara pagi yang segar, Langit mengayuh sepedanya. Tidak ada raut bersemangat yang tergambar di wajah Langit. Wajahnya datar.

Langit sampai di sekolahnya yang sudah ramai. Pak Satpam geleng-geleng melihatnya yang baru datang. Tanpa perlu menunggu lama bel sekolah sudah berbunyi.

Langit berjalan sembari menunduk kala melewati koridor yang masih sedikit ramai. Tanpa ia menunduk pun sebenarnya ia tidak akan diperhatikan. Baru kalau mereka semua butuh hiburan, maka Langit akan menjadi bahan candaan.

Di kelasnya ia sudah di sapa seorang gadis berpipi chubby dan berambut hitam panjang. Senyum gadis itu semakin melebar ketika Langit duduk di kursinya.

"Apa kamu selalu terlambat?" tanya Jingga.

Langit menaikkan satu alisnya. Jingga berdecak sebal, "Aku sudah menunggumu dari tadi."

"Kamu menungguku hanya akan menyia-nyiakan waktu yang kamu punya."

Mata Jingga membulat. Ia bertepuk tangan pelan. Mendengar Langit berbicara cukup panjang itu sangat menakjubkan baginya.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang