Bagian Delapan

159 37 0
                                    

Lapangan sekolah kini dibuat untuk latihan anak-anak yang sedang latihan paskibra untuk upacara Senin depan. Terik matahari tidak membuat semangat mereka melemas. Walaupun mereka sudah banjir peluh, mereka tidak akan mudah meninggalkan latihan mengingat guru yang melatihnya sangat tegas dan disiplin.

Langit dan Jingga menyaksikan penderitaan anak-anak paskibra di pinggir lapangan sambil memakan permen Milkita. Jingga sudah menghabiskan dua permen sedang Langit satu saja tidak habis-habis.

"Kamu kenapa gak ikut ekskul sama sekali?" tanya Jingga memulai obrolan.

"Males," jawab Langit singkat jelas dan padat.

Jingga berdecak kemudian memukul bahu Langit. "Astaga Langit! Emang kamu gak ada minat di ekskul apa gitu? Masak kamu dari kelas sepuluh nganggur terus?"

"Gak ada. Di kelas sepuluh pernah ikut karate tapi baru beberapa hari latihan langsung keluar."

"Kenapa?"

"Melelahkan."

"Dasar! Tapi ya Langit kalau aku lihat-lihat kamu itu pantas loh jadi anak paskibra. Kamu kayak tiang gini!"

"Kamu suka aku tersiksa kayak mereka gitu?" Langit menunjuk anak-anak paskibra dengan permennya.

"Bukan gitu! Ah sudahlah."

"Kamu gak ikut ekskul?" tanya Langit.

"Mau ikut modern dance tapi sama Papa dan Kakak aku gak boleh. Katanya pakaian terlalu terbuka. Ya, aku tahu sih emang pakaiannya terbuka banget, tapi aku juga pingin ikut." Bibir Jingga manyun mengingat sifat Papanya dan kedua Kakaknya yang overprotektif padanya kumat waktu tahu dirinya akan ikut ekskul modern dance.

"Kalau terlalu terbuka ditutupin aja. Gitu kok repot."

Satu pukulan mendarat di bahu Langit. "Kok kamu jadi ngeselin gini sih! Baterai kamu masih penuh, ya?!"

"Aku manusia bukan robot, Jingga."

"Di mataku kamu robot!"

Tak ingin berdebat lebih lama lagi Langit memilih kembali pada obrolan sebelumnya. "Kamu bisa bilang sama Bu Nikma kalau baju modern dance terlalu terbuka untuk kamu. Mungkin nanti Bu Nikma bakal mengusahakan baju modern dance untuk kamu. Kamu sudah tahu kan kalau Bu Nikma selain menjadi wali kelas kita juga menjadi pembimbing modern dance?"

"Tahu. Nanti deh aku bilang sama Bu Nikma."

"Langit ...." panggil Jingga.

Langit menoleh lalu menaikkan alisnya. "Hem?"

"Belum siap cerita, ya?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari mulut Jingga. Pasalnya sudah beberapa hari Jingga menahan diri agar tidak terus bertanya pada Langit mengenai kejadian di belakang sekolah waktu itu.

Awalnya ia yakin kalau Langit akan bercerita padanya. Sayangnya, sampai sekarang Langit tak kunjung bercerita. Ia tidak memaksa. Toh ia hanya teman Langit. Lagi pula belum tentu kan kalau Langit percaya sepenuhnya padanya? Ia tahu bahwa rasa percaya seseorang itu tidak bisa dipaksa.

"Cerita?"

"Kejadian di belakang sekolah."

Tubuh Langit menegang. Ia mengira kalau Jingga sudah melupakan kejadian itu, ternyata Jingga masih mengingatnya. Sekarang, ia kembali merasa lemah.

Jingga tidak buta untuk tidak mengetahui reaksi Langit waktu ia bilang mengenai kejadian di belakang sekolah. Cowok itu tidak lagi bersemangat dan beberapa kali menghela napas.

"Langit, aku nggak maksa kok."

"Jangan sekarang, Jingga. Mungkin nanti," balas Langit.

"Kapan pun itu aku akan siap mendengarkan kamu."

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang