Bagian Enam Belas

160 32 0
                                    

"Langit kamu tahu enggak aku khawatir banget sama kamu!" Itulah sambutan yang Langit dapatkan saat dirinya saja baru sampai di tempat duduknya. "Aku telepon enggak kamu angkat, chat aku juga nggak kamu balas!"

"Maaf," balas Langit sembari duduk di kursinya.

"Harusnya aku yang minta maaf!, Kemarin ninggalin kamu seenaknya, enggak pamit pula. Maaf ya, Langit, kemarin aku buru-buru pulang ada paket soalnya," jelas Luna.

Langit hanya mengangguk mengiyakan apa yang Jingga katakan. Langit tertoleh kiri ketika Jingga menarik dagunya agar menghadap gadis itu, dan itu membuatnya meringis. Jingga menekan lebam di dagunya.

"Tuh kan bonyok lagi! Harusnya Kemarin aku nunggu kamu dulu. Ini ulah siapa? Tio dan gengnya itu lagi?" Luna menelisik wajah Langit yang terdapat lebam dan satu plaster di dagu kanannya.

"Iya."

Luna berdecak sebal. "Astaga, kenapa mereka enggak tobat-tobat sih! Dan kenapa pula mereka terus-menerus merundung kamu? Kalau butuh hiburan ya, ke tempat karaoke kek, atau diskotik sana bukan malah hajar kamu kayak gini!"

Langit menepuk-nepuk bahu Jingga agar Jingga kembali tenang. "Kita laporin guru saja! Muka kamu sudah cukup jadi bukti!"

Jingga beranjak dari duduknya namun tangannya ditahan oleh Langit. Langit ikut berdiri kemudian merentangkan tangannya di hadapan Jingga. "Jangan, Jingga."

"Jangan bodoh, Langit! Kamu mau sampai kapan kayak gini terus? Kamu nggak sakit kalau mereka terus-menerus merundung kamu?"

"Tolong dengerin aku, Jingga! Kalau kamu lapor sama guru sekarang mungkin aku akan terbebas dari mereka tapi ada kemungkin juga mereka akan tambah merundungku lebih jahat dari ini. Dan lagi kalau kamu lapor guru maka aku akan berurusan lagi sama Ayah."

Anak-anak kelas 12 IPS 3 menyaksikan perdebatan antara Langit dan Jingga. Mereka semua hening dan mendengarkan topik perdebatan Langit dan Jingga dengan seksama. Topik itu tidak asing untuk mereka, iya, mereka semua tahu kalau Langit si anak pendiam sering kali jadi bahan bully Tio dan anak buahnya. Tidak ada satupun di antara mereka yang pernah membela Langit karena mereka memang tidak ingin berurusan dengan Tio dan Langit yang sangat asing untuk mereka. Langit tidak pernah berbaur dengan mereka, cowok itu lebih sering tidur.

"Ayah?" Dahi Jingga mengernyit tidak mengerti.

"Iya, Ayah."

"Kenapa? Bukannya lebih baik ayah kamu tahu kalau kamu mengalami pembullyan?"

"Itu lebih buruk, Jingga!"

"Lang---"

"Tolong aku, Jingga." Langit tidak mengerti arti tatapan Jingga yang tertuju padanya. Gadis itu menatapnya dengan intens sebelum akhirnya dia kembali duduk. Langit menghela napas lega.

°°°

Langit terus menerus mengikuti kemanapun Jingga pergi kecuali ke toilet. Langit merasa Jingga sedang menghindarinya, bisa dikatakan kalau cewek itu ngambek. Semenjak perdebatan tadi Jingga benar-benar menjadi sosok yang sangat asing untuk Langit, sangat pendiam.

Kini Jingga sedang berjalan menuju kantin. Langit sendiri memutuskan untuk makan di kantin saja karena ia tidak membawa bekal dan juga sarapan. Dia masih menghindari bundanya.

Tak tahan dengan Jingga yang berusaha mempercepat jalannya hingga menabrak beberapa murid di koridor Langit segera mensejajarkan langkahnya dengan Jingga lalu meraih tangan cewek itu. "Jingga, kamu boleh marah-marah sama aku. Tapi jangan diam kayak gini."

Jingga mendongak menatap wajah Langit. Cowok di depannya ini benar-benar menyebalkan! Apa Langit tidak tahu dirinya sedang khawatir. Dalam diri Jingga terdapat rasa takut, takut kalau perundungan yang terjadi pada Langit akan lebih parah lagi. Jingga tahu Langit sudah mengalami perundungan dua tahun lebih dan Langit masih hidup sampai sekarang, menandakan kalau cowok di depannya ini benar-benar seorang yang kuat.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang