Bagian Empat Belas

139 34 6
                                    

Udara dingin menyapu kulit Langit yang sedang berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka. Satu-satunya cahaya hanya pada jendela kamar Langit karena cowok itu mematikan lampu kamarnya. Ia lebih suka gelap dan kesunyian untuk menenangkan dirinya.

Malam semakin larut tapi tak membuat Langit beranjak dari tempatnya. Pikirannya sedang kalut. Ayah meminta dirinya untuk datang di ruang kerjanya, tapi ia sangat enggan untuk ke sana. Setiap ia masuk ke ruang kerja Ayah maka ia akan keluar dengan kondisi tidak baik-baik saja. Terakhir ia memasuki ruang kerja Ayah adalah dua tahun lalu, awal di mana ia memasuki masa-masa SMA.

Jam di kamar Langit terus berdetak mengisi kesunyian di tempat itu. Langit menggeram lalu mengusap wajahnya kasar. Sebelum tengah malam berlalu ia harus segera ke ruang kerja Ayah, atau kalau tidak Ayah akan benar-benar menyeretnya.

Langit keluar dari kamarnya lalu berjalan ke ruang kerja Ayah yang berada di lantai dua. Dia menggetok pintu tiga kali, setelah Ayah menyuruh masuk barulah ia membuka pintunya.

Dwi memandang anak sulungnya yang berjalan menghampirinya. Tatapan tajam ia berikan pada Langit. Ia tidak suka melihat anaknya yang terlihat tidak bersalah padahal telah melakukan kesalahan. Ia kecewa.

"Kenapa?" tanya Langit membuka suara.

"Akui kesalahan apa yang sudah kamu perbuat!" jawab Dwi penuh penekanan.

"Kesalahan apa?" Langit membalas tatapan tajam Ayah, meskipun ia tahu apa yang ia lakukan ini sangatlah tidak sopan.

"Kamu hari ini bolos sekolah kan?"

"Iya."

Dwi menggeram marah. Ia bangkit dari duduknya menghampiri anaknya yang ada dua langkah di depannya. Ia memegang dagu Langit lalu mencengkeramnya. "Pengecut!"

Langit tidak membalas perkataan Ayah yang ia lakukan hanya menatap iris gelap milik Ayah.

"Kamu sebenarnya laki-laki bukan?! Harusnya kamu lawan mereka! Bukan malah menghindarinya! Kamu benar-benar pengecut, Langit!" Dwi melepaskan cengkeraman di dagu Langit dengan kasar hingga kepala Langit menoleh ke samping.

"Langit membolos bukan untuk menghindari mereka---"

"Lalu apa? Kamu tetap saja membolos! Tetap melakukan kesalahan bukan?"

"Tapi Langit membolos bukan menghindari mereka! Kalaupun Langit menghindari mereka seharusnya Langit membolos dari dulu! Tapi apa? Langit tetap bertahan!" teriak Langit di depan wajah Ayah.

Plak

Satu tamparan mendarat tepat di pipi Langit hingga membuat ringisan keluar dari mulutnya. Hati Langit merasa sesak ketika dirinya mendapati di wajah Ayah tidak ada raut penyesalan sama sekali setelah menamparnya. Malah yang ia dapati hanya raut kemarahan yang begitu kentara.

"Kamu pintar sekali melawan Ayah! Tapi kamu sangat bodoh untuk melawan mereka!"

"Lebih bodoh mana dengan orang tua yang tahu anaknya dirundung teman-temannya malah diam saja?" tantang Langit sembari tersenyum miring.

Dwi melayangkan kembali satu pukulan di wajah Langit. Ia sangat tidak suka kalau anak-anaknya melawannya, ia merasa tidak dihargai. Dwi hanya melihat Langit yang sudah tersungkur di lantai tanpa ada niat untuk membantunya sama sekali.

"Kamu benar-benar pembantah, Langit! Tidak seperti Luna yang selalu menuruti perintah Ayah. Kamu tahu sekarang Luna ikut ekskul karate. Sepertinya Luna bisa menjaga dirinya sendiri sekarang, dan dia tidak membutuhkan Kakak yang lemah seperti kamu. Dan Ayah menyesal pernah menyuruhmu untuk menjaga Luna, padahal kamu menjaga diri sendiri saja tidak bisa!"

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang