Bagian Dua Puluh Lima

126 30 0
                                    

Helaan napas lega keluar dari Luna kala mendapati Angkasa yang tidur pulas di ranjang Langit. Langit segera bangkit dari tidurnya saat menyadari kedatangan Luna.

Luna memberikan makanan untuk Langit dan obat milik Langit yang harus diminum. "Mau Luna suapi?" tawar Luna yang dijawab gelengan oleh Langit.

"Kak Angkasa pasti kelelahan," gumam Luna sembari menatap Angkasa yang sedang terlelap.

"Luna, kamu nggak papa? Kenapa kamu harus mengab-" Sebelum Langit menyelesaikan ucapannya Luna lebih dulu menempel jari telunjuknya pada bibir Langit.

"Sudah lama Abang tidak bertemu dan berbicara sama Kak Angkasa kan? Kini Kak Angkasa ada di sini jangan disia-siakan, Abang bebas cerita. Meskipun Kak Angkasa nggak lama di sini Luna berharap Bang Langit bisa memperbaiki hubungan Bang Langit sama Kak Angkasa," sahut Luna.

"Maaf dan terima kasih, Luna," ucap Langit tulus. Luna tersenyum lalu mengangguk.

"Luna keluar dulu nanti Luna balik lagi buat ambil piring kosong Bang Langit," ujar Luna sebelum pergi dari kamar Langit.

°°°

Malam sudah larut tapi seseorang yang duduk di tepi ranjang Langit tidak sekalipun merasakan kantuk. Ia hanya terus menatap anaknya yang sedang terlelap. Anaknya terlihat tenang sekali dalam tidurnya, bahkan tidak terusik oleh kehadirannya. Wajar saja kalau istrinya sempat khawatir kalau Langit memiliki hobi tidur.

Ragu-ragu Ayah mengulurkan tangannya ke pipi Langit. Tinggal sedikit lagi Ayah bisa menyentuh kulit pipi Langit namun ia urungkan. Di dalam benaknya ia ingin sekali mengusap pipi Langit, kata Luna pipi Langit itu sangat lembut. Namun, ia sering sekali menampar pipi Langit.

Ayah melihat telapak tangannya. Tangannya tidak pantas menyentuh Langit karena dengan tangannya ini dia sudah melukai Langit. Bahkan mulutnya juga tidak pantas mengucapkan rasa sayangnya pada Langit karena dengan tega ia sudah mengucapkannya kata-kata yang melukai hati Langit.

"Ayah malu punya anak kayak kamu!"

"Pengecut!"

"Kamu benar-benar pengecut, Langit!"

"Kakak yang lemah."

Sungguh, Ayah menyesal pernah mengatakan kalau Langit itu lemah. Langit anak yang kuat, waktu ia menyuruh Langit untuk melawan anak-anak yang merundungnya sendiri Langit melakukannya meski harus berakhir celaka. Langit juga kuat menghadapi seorang Ayah yang buruk sepertinya. Dan ia begitu menyesal waktu Langit mengingatkannya akan tugas seorang Ayah ia malah mengabaikannya.

Ayah ingin memperbaiki hubungannya dengan Langit. Tapi ia sadar pasti sangat sulit untuk Langit memaafkannya, sekalipun nanti Langit memberi maaf tapi perlakuan buruknya pada Langit pasti tidak akan mudah untuk Langit lupakan.

Ayah sudah merasakannya, bagaimana disiksa dan dituntut menjadi sempurna dan rasa sakitnya selalu melekat dalam hati dan ingatannya meskipun ia sudah memaafkannya perbuatan yang dilakukan Bapak dulu.

Dulu Ayah berjanji pada dirinya sendiri ketika Langit lahir di dunia bahwa ia tidak akan mendidik Langit seperti Bapak mendidiknya dulu, ia juga tidak akan menuntut Langit menjadi anak yang sempurna. Sayangnya dengan mudah ia mengingkari janjinya sendiri.

Ayah meremat jari-jarinya, ia ingin sekali memeluk Langit. Ia merindukan Langit, sejak Langit dirawat ia tidak sekalipun melihat Langit. Selain rasa sesal kerinduan juga yang menyiksanya. 

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang