Bagian Dua Puluh Tiga

120 29 0
                                    

Setelah pulang sekolah Jingga menjenguk Langit yang masih dirawat di rumah sakit. Sampai di sana ia sudah disambut oleh Luna dan Bunda. Jingga duduk di kursi samping bangkar Langit. Cowok itu sedang tidur lelap tidak terusik sama sekali oleh kedatangannya.

"Maaf ya, Jingga, Langit baru saja tidur jadinya kamu enggak bisa ngobrol sama dia," ujar Bunda berbisik pada Jingga.

Jingga tersenyum menanggapi ucapan Bunda. "Tidak apa-apa, Tante. Langit harus banyak istirahat biar cepat sembuh," balas Jingga pelan.

"Oh ya, Jingga, Tante mau berterima kasih sama kamu sudah jadi teman Langit." Bunda mengelus surai milik Jingga.

"Bunda tidak perlu berterima kasih. Jingga sangat senang bisa berteman dengan Langit. Meski Langit pendiam tapi sebenarnya dia sosok yang sangat hangat, jadi Jingga tidak punya alasan untuk tidak menyukai atau tidak berteman dengan Langit."

Senyum hangat Turi dari Jingga datang tidak pernah luntur. Hari ini Langit sudah sadar itu poin pertama yang membuatnya senang, sekalipun Langit tidak berbicara apapun. Poin ke dua adalah Langit yang memiliki teman seperti Jingga. Jingga sudah beberapa kali datang ke rumah sakit sejak Langit dirawat, gadis itu juga selalu membawakan makanan untuknya. Keberadaan Jingga juga sangat membantu Turi untuk membujuk Luna agar anak Bungsunya itu tidak terus menerus diam dan murung. Jingga juga yang sudah berhasil membujuk Luna makan.

"Tante sama Luna sudah makan? Kalau belum Tante sama Luna makan saja dulu biar Langit Jingga yang jaga," kata Luna.

"Luna sudah makan, Kak," jawab Luna.

"Tante?"

"Sudah kok."

"Apa om sudah menemui, Langit?" tanya Jingga. Setiap ia menjenguk Langit Jingga tidak pernah bertemu dengan Ayah Langit.

Waktu di sekolah Jingga dapat melihat penyesalan yang begitu kentara dari wajah Ayah. Bahkan Ayah bilang juga membutuhkan maaf dari Langit, tapi kenapa Ayah malah tidak menemui Langit?

"Belum, Jingga. Om tidak sanggup melihat tubuh Langit yang terluka karena sebagian luka itu ditimbulkan oleh Om juga," jawab Turi.

Sudah beberapa kali Turi membujuk suaminya agar mau untuk menemui Langit meskipun hanya untuk beberapa saat namun suaminya tidak pernah mau dan berujung menangis. Turi tidak tahu seberapa besar penyesalan yang ditanggung oleh suaminya, namun dapat ia lihat bahwa penyesalan itu menyiksa suaminya. Atau mungkin suaminya kembali mengigat kenangan lama tentang bagaimana ayahnya dulu yang selalu mendidiknya lewat kekerasan.

Ketika Jingga tidak sengaja menatap ke arah pintu ia mendapati sosok yang tidak asing sedang mengintip dari kaca yang berada di pintu. Mata mereka berserobok sebelum sosok itu buru-buru pergi. Jingga yang penasaran langsung pamit keluar pada Bunda. Takut-takut Jingga mengikuti sosok itu dari belakang. Langkah sosok itu baru berhenti saat sampai di taman rumah sakit yang tidak terlalu ramai, dia duduk di kursi kayu panjang.

"Kamu siapa?" tanya Jingga yang berhasil mengejutkan sosok itu yang dari tadi hanya menunduk menatap ujung sepatunya.

Ragu-ragu Jingga duduk di sebelah sosok itu. Tidak kunjung mendapat jawaban Jingga kembali bertanya, "Kamu siapa?"

"Tio." Iya sosok itu adalah Tio.

Jingga memperhatikan Tio dari ujung kaki hingga kepala. Cowok itu hanya memakai hoodie putih dan celana training hitam. Jingga tidak mendapati tindik hitam di kedua telingga cowok itu.

"Kamu benar Tio? Bukan Trian atau yang lainnya?" tanya Jingga memastikan.

"Gue Tio. Jadi lo udah tahu, ya? Pasti nenek udah nunjukin buku gue."

"Kenapa lo mau bunuh Langit?" tembak Jingga.

Tio menggusap telapak tangganya gusar. "Gue gak pernah mau bunuh Langit."

"Lo mukul dia."

"Gue ketemu Ayah gue beberapa hari yang lalu dan gue ketakutan setelah itu gue enggak ingat apa-apa lagi. Tapi kemarin sore setelah gue bangun dari tidur gue dan gue enggak inget apa-apa, tapi di buku gue udah ada tulisan 'Langit akan mati'. Asal lo tahu gue juga panik setelah baca tulisan itu. Gue sempat nulis balasan untuk tulisan itu 'Jika Langit mati maka lo berhasil menjadi seperti Ayah'. Setelah nulis balasan gue pergi dari rumah, dan mencari tahu keadaan Langit," jelas Tio.

"Lo tahu dari mana kalau Langit di rawat di sini?" tanya Jingga bingung.

Tio menunjukkan ponsel yang dibawanya. Ia memperlihatkan roomchatnya dengan teman-temannya, lebih tepatnya teman Trian. Di sana terdapat pertanyaan yang dilontarkan untuk dirinya 'kenapa sampai memukul Langit dengan kayu hingga membuat Langit harus dibawa ke rumah sakit'. Lalu di sana juga ada informasi mengenai di rumah sakit mana Langit dirawat.

"Gue lega kondisi Langit sudah membaik. Setelah ini gue janji enggak akan ganggu dia lagi, dan gue akan berusaha agar sisi menyeramkan gue enggak muncul lagi." Tio memasukkan kembali ponselnya pada saku hoodienya.

"Mungkin Trian berusaha melindungi kamu, Tio," ucap Jingga, "Bukannya alter timbul untuk melindungi anak yang sedang melalui kejadian tromatis dengan cara menampung trauma dan ingatan-ingatan pahitnya. Mungkin kamu masih trauma sama Ayah kamu, jadi saat Ayah kamu datang dan kamu ketakutan Trian muncul."

"Tapi aku tidak pernah menyukai Trian yang selalu melukai orang-orang disekitarku, dan dia juga selalu mengaku menjadi kakakku." Helaan napas keluar dari mulut Tio. Jingga menepuk pundak Tio dua kali.

"Boleh minta kertas dan pinjem pulpen?" tanya Tio pada Jingga. Jingga mengangguk kemudian mengambil kertas dan pulpen dari dalam tasnya.

"Nih." Jingga memberikan kertas dan pulpen itu pada Tio dan Tio menerimanya.

"Gue mau buat surat untuk Langit. Nanti lo sampaiin, ya," tutur Tio sembari mulai menulis.

"Kenapa gak kamu kasih sendiri?"

"Gue gak yakin bisa ngendaliin diri gue sendiri."

°°°

Kamar rawat Langit ramai dipenuhi anak-anak kelas yang sedang menjenguk.  Sayangnya di antara anak-anak itu Langit tidak menemukan Jingga. Setiap ia bangun Jingga sudah kembali ke rumahnya, kata Bunda Jingga selalu menjenguknya tapi sayang ia tidak bisa benar-benar menatap wajah Jingga. Ia merindukannya.

Anak-anak kelas mengucapkan maaf dan kata-kata penyesalan untuknya. Sejujurnya Langit ragu kalau mereka benar-benar tulus, namun Langit akan berusaha percaya. Langit menanggapi mereka hanya dengan tersenyum dan mengungkapkan bahwa dia baik-baik saja.

Anak-anak kelas tidak lama menjenguknya tapi Andi dan Ani tetap memilih tinggal lebih lama, Langit sendiri tidak tahu alasannya kenapa dua sejoli itu memilih bertahan dari pada pulang.

"Aku tahu kamu dari tadi mencari-cari Jingga kan? tadi sebenarnya Jingga mau ikut jenguk kamu juga cuman tiba-tiba ada telpon dan dia langsung pulang. Tapi kamu tenang saja, Jingga pasti akan jenguk kamu kok hari ini," ucap Andi.

Langit tersenyum. "Jingga punya kehidupan sendiri dan itu enggak melulu tentang aku. Jadi kalau Jingga absen jenguk aku satu hari itu wajar. Lagian aku juga enggak berhak menuntut Jingga untuk selalu di sampingku kan?"

Langit meringis setelah mendapat pukulan dari Andi pada bahunya. "Eh maaf-maaf, aku nggak sengaja. Tapi Lang, kamu bisa kok miliki Jingga setelah ini, setelah kamu ungkapin semua rasa kamu pada Jingga."

"Bukannya itu terlalu terburu-buru?" tanya Langit.

"Menurutku tidak, karena lebih cepat kamu mengungkapkan rasa pada Jingga maka kamu juga akan cepat tahu bagaimana perasaan Jingga sama kamu," sahut Ani.

"Lalu apa Jingga bisa jadi milikku?" gumam Langit.

°°°

Terima kasih sudah membaca:)

Jangan lupa kritik dan saran. Dan kalau ada kesalahan tolong dikoreksi, ya🙏🙏

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang