Bagian Tiga Puluh

114 24 0
                                    

Sebentar lagi semburat jingga di langit akan sirna digantikan gelapnya malam. Sudah begitu lama Langit hanya duduk di depan pagar rumah Jingga tapi ia tidak kunjung mengetuk pagar rumah Jingga ataupun memanggil sang tuan rumah, Langit masih menyiapkan nyalinya.

Waktu ia pergi dari rumahnya untuk ke rumah Jingga ia sudah meyakinkan dirinya berkali-kali agar tidak menjadi pergecut dengan terus menghindari Jingga. Tapi nyatanya sampai sekarang yang ia lakukan hanya duduk tidak jelas. Setiap dirinya akan memanggil nama Jingga ternggorokannya tiba-tiba kering.

Langit memandang kantong kresek yang berisi buah-buahan untuk ia berikan kepada Jingga nanti. Tangannya sudah berkeringat karena terlalu lama memegang kantong kresek itu.

"Kamu mau minta sumbangan?"

Langit berjingkit kaget. Ia mendongak dan mendapati cowok berkemeja kotak-kotak yang sedang memandanginya.

"Bukan," jawab Langit.

Cowok itu mengangguk lalu beranjak duduk di samping Langit. "Aku tahu, tadi aku cuman bercanda aja."

Langit hanya berdehem.

"Kamu Langit kan? Langitdya Pratama? Temannya Jingga?"

Langit mengernyit, ia memandang cowok itu dari bawah sampai atas cowok itu tidak seperti Kakaknya Jingga. Lalu kenapa cowok itu bisa mengenalnya?

"Jingga sudah cerita semuanya sama aku," tutur cowok itu.

"Kamu siapa?" tanya Langit pada akhirnya.

Cowok itu terkekeh sembari menepuk pundak Langit. Langit sendiri tidak mengerti arti tepukan yang diberikan cowok itu pada bahunya, biasanya orang-orang di sekitar menepuk bahunya agar dia tetap tegar. "Aku Surya, pacar Jingga."

Deg

Tanpa sadar Langit meremat pegangan pada kontong kresek yang ia bawa. Hatinya rasanya perih dan dadanya sesak dan sayangnya ia tidak punya hak untuk melampiaskan betapa sakit hatinya pada cowok yang ada di depannya sekarang. Justru malah harusnya cowok di depannya inilah yang harus memukulnya.

"Jingga memang bergitu, dia tidak marah sama kamu kok sekarang. Jingga orangnya sering kali menyalahkan dirinya sendiri meskipun kesalahan itu tidak dibuat oleh orang lain."

"Memang di sini aku yang salah kok," sahut Langit.

"Pasti Jingga sudah bilang bahwa perasaan itu tidak bisa dikendalikan dan setiap orang bebas menaruh rasa pada seseorang yang disukainya, kan? Jadi kamu tidak sepenuhnya salah, Langit, itu perasaan kamu."

Langit memandangi Surya dari samping, cowok itu sedang asik mendongak melihat Langit yang mulai menghitam. "Tapi aku sudah menghiraukan peringatan Jingga sebelumnya."

"Sudah aku bilang bukan sebuah rasa itu sulit dikendalikan. Karena perasaan kamu itu, mungkin kamu bisa lupa ataupun menghiraukan peringatan dari Jingga," jawab Surya tanpa melihat lawan bicaranya, yang ia lakukan hanya memandangi Langit Jakarta yang sering Jingga gambar dan dikirim kepadanya.

"Kamu berhak marah sama aku kalau kamu mau, kalau mau pukul juga boleh."

Surya kembali terkekeh. "Kita bukan lagi anak-anak, Langit."

Keheningan menyelimuti mereka tatkala kekehan Surya berakhir. Langit mengikuti arah Padang Surya pada Langit yang sudah benar-benar menghitam pekat tanpa adanya cahaya. Satu-satunya cahaya yang menerangi mereka adalah dari teras rumah Jingga.

"Jingga memang begitu, Langit, dia baik ke semua orang bahkan sering kali kelewat batas, dia sering kali mencampuri orang lain. Dia enggak pernah ragu-ragu untuk mengajak orang berteman, membantu mereka, dan juga menebar senyumnya. Jadi sering kali banyak yang salah paham akan sifat Jingga atau enggak banyak pula yang memanfaatkan Jingga," Surya kembali bersuara.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang