Bagian Sembilan

166 34 0
                                    

Untuk kali ini tidur tidak dapat membuat seorang Langitdya Pratama menjadi tenang. Beberapa kali Langit menutup mata tapi tetap saja ia tidak bisa benar-benar tertidur. Jam bulat di dindingnya sudah menunjukkan angka satu lewat delapan belas menit.

Langit menggeram lalu menyingkap selimutnya hingga jatuh dari ranjang. Ia mengacak-acak rambutnya. Dengan langkah gontai Langit keluar dari kamarnya.

Lampu di seluruh rumah Langit sudah mati hingga menyisakan kegelapan. Bunda dan Ayah pasti sudah terlelap, begitupun dengan Luna. Ia pergi ke dapur untuk membuat susu coklat hangat kesukaannya. Waktu tidak bisa tidur seperti ini biasanya ia akan menyesap susu coklat hingga ia bisa merasa tenang.

Usai membuat susu coklat Langit duduk di kursi meja makan dalam kegelapan. Rasa hangat mengalir di tenggorokannya kala ia menyesap susu coklatnya. Rasa hangat dan manis itu membuatnya rileks, terlebih suasana hening di rumahnya sangatlah mendukung.

"Bang Langit, ngapain?" Baru saja ia merasakan tenang namun suara adik kesayangannya itu sudah mengusiknya saja.

Luna menyalakan lampu di dapurnya agar dirinya dan Langit tidak dalam kegelapan.

"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Langit sembari meneliti penampilan adiknya yang berantakan, rambut yang acak-acakan dan piyama beruang yang kusut.

"Orang patah hati mana bisa tidur, Bang." Luna terkekeh.

"Patah hati?" Langit cukup terkejut mendengar ucapan Luna. Adiknya itu patah hati? Yang benar saja! Luna masih kelas sembilan SMP. Dan siapa juga yang membuat adiknya patah hati?

Luna duduk berseberangan dengan Langit. Ia merebut mug berisi susu coklat milik abangnya itu lalu meminumnya tanpa izin.

"Iya, patah hati."

"Kamu pacaran? Kamu masih kelas sembilan, Luna?"

"Gak selalu patah hati itu gara-gara pacaran, Bang. Luna juga gak pacaran kok."

"Siapa?" Langit membiarkan Luna meminum habis susu coklat miliknya. Toh, nanti ia bisa buat lagi.

"Apanya?"

"Orang yang buat kamu patah hati."

"Bang Langit pasti tahu kok."

Langit mendengus. "Bang Langit bukan cenayang, Luna."

Luna terkekeh. "Kalau Bang Langit kenapa belum tidur? Kepikiran Kak Jingga ya?"

Luna benar, Jingga adalah salah satu alasan mengapa dirinya tidak bisa tidur. Dari pulang sekolah sampai sekarang cewek itu selalu berputar-putar di kepalanya.

Langit tahu Jingga tidak mengetahui apapun mengenai dirinya jadi ia tidak bisa menyalahkan Jingga kalau Jingga dengan polosnya mau menemaninya datang ke pesta ulang tahun pacar Tio. Padahal ia sangat tidak ingin menghadiri pesta itu. Walaupun ia datang ke sana ia hanya ingin sendirian karena ia tidak ingin Jingga melihatnya dipermalukan.

"Coba sini cerita sama Luna, Bang."

"Cerita apa?"

"Ya cerita Kenapa Kak Jingga bisa buat Bang Langit gak bisa tidur kayak gini padahal Bang Langit kan hobi banget tidur!"

Tidak ada sahutan Langit. Luna yang menunggu Langit bercerita berdecak sebal gara-gara Abangnya itu malah diam saja seperti patung.

"Bang Langit udah lihat email?" tanya Luna.

"Kenapa Bang Langit gak balas-balas pesan itu? Padahal di sana ada yang nungguin balasan dari Bang Langit. Atau jangan-jangan Bang Langit gak baca pesan-pesan itu, ya?" lanjut Luna karena Langit tak kunjung menjawab pertanyaan.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang