Menemani Langit untuk pulang paling akhir sudah menjadi kebiasaan Jingga. Itu bukan masalah untuknya, malah menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan. Melihat raut lelah Langit saat harus terus menerus mendengar berbagai pertanyaan-pertanyaan darinya itu sesuatu momen yang tidak boleh dilewatkan.
Terlebih semakin hari Langit tidak lagi mengacuhkan Jingga lagi. Cowok itu benar-benar menempati ucapannya kalau sudah menerimanya menjadi temannya.
Seperti sekarang Jingga dan Langit akan bersepeda menggelilingi taman yang berada dekat perempatan dekat sekolahnya. Langit menyetujui permintaan Jingga karena cewek itu memohon-mohon padannya dengan muka yang diimut-imutkan. Membuatnya menjadi geli sendiri.
Jingga keluar dari toilet usai menunaikan hajat. Ia berjalan menuju kelasnya untuk memanggil Langit. Namun, sampai di sana ia tidak mendapati Langit. Padahal sebelum ia pergi ke toilet cowok itu masih anteng tiduran di bangkunya.
Jingga segera berlari ke parkiran sekolah memastikan Langit sudah pulang atau belum. Kalau sepeda Langit masih ada berarti cowok itu belum pulang, dan benar saja sepeda cowok itu masih ada.
Setelah menerka-nerka di mana keberadaan Langit Jingga memutuskan untuk mengecek di perpustakaan. Hanya itu satu-satunya tempat di sekolahnya yang sering dikunjungi Langit.
Jingga salah ternyata Langit tidak ada di perpustakaan. Ia kembali berpikir, dan hanya satu tempat yang berkemungkinan besar Langit ada di sana. Toilet cowok.
"Yuhuu, ada orang di sana!" teriak Jingga dari luar toilet.
Tidak ada jawaban.
"Langit, kamu di dalam?"
Tidak ada jawaban.
Jingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia harus mencari kemana lagi. Tidak mungkin juga Langit tiba-tiba menghilang atau bersembunyi darinya. Cowok seperti Langit mana mau membuang-buang waktunya hanya untuk menyembunyikan dirinya agar dicari.
Akhirnya Jingga mencari keliling sekolah. Dari laboratorium, lab komputer, kantin, bahkan kantor guru juga jingga sambangi, tapi hasilnya nihil. Langkah Jingga melambat karena sudah lelah. Ia masih harus mengecek halaman belakang sekolah yang katanya memiliki penunggu itu.
Di sana ada pohon beringin besar yang katanya sudah puluhan tahun berdiri di sana dan menjadi sarang makhluk halus. Jingga tidak terlalu percaya yang begituan, sebelum ia melihat sendiri.
Mata Jingga membelalak sempurna mendapati Langit yang berada di sana. Langit sedang memeluk lututnya dan menenggelamkan kepalanya. Rambut cowok itu telihat kotor penuh tepung, kecap, dan telur. Seragam cowok itu juga sudah kotor.
"Langit!"
Langit mendongak dan mendapati Jingga yang menghampirinya. "Berhenti, Jingga!" perintah Langit penuh penekanan.
Langkah Jingga berhenti. Ia terkejut suara Langit yang meninggi. Langit terlihat sangat kacau, mata cowok itu juga memerah dan terdapat beberapa lebam di pipinya.
"Sebentar aku ambilin seragam olahragaku di loker!" Jingga pergi meninggalkan Langit.
Langit melihat punggung Jingga yang sudah menjauh. Ia menghela napas panjang, secepat ini ia harus ketahuan oleh Jingga. Baru saja Jingga mengenal dan sebentar lagi Jingga akan mengetahui siapa Langitdya Pratama sebenarnya.
Langit merasa malu akan dirinya sendiri.
"Maaf," ucap Langit kemudian berdiri dari duduknya. Ia beranjak dari sana.
Beberapa menit kemudian Jingga kembali sembari membawa seragam olahraganya. Sayangnya, ia tidak mendapati Langit di tempatnya.
"Kamu kenapa, Langit?"
Di parkiran sepeda Langit sudah tidak ada. Jingga memandang seragam olahraganya yang ada di tangannya bergantian dengan parkiran sekolah. "Langit, apa kamu tidak baik-baik saja?" Jingga kembali bertanya-tanya.
°°°
"Langit, makan dulu, Nak!" suara keibuan itu terdengar berbarengan dengan ketukan pintu di kamar Langit.
Sang pemilik kamar tidak menghiraukan suara itu. Mata Langit hanya fokus pada satu titik yaitu komputernya yang menyala menunjukkan pesan dari seseorang lewat email.
Sepulang sekolah Langit langsung mengurung diri di kamarnya. Suasana rumahnya yang sepi sangat mendukungnya, waktu itu Bunda sedang ada arisan, adiknya entah kemana, dan ayahnya sedang bekerja.
Langit membersihkan dirinya sangat lama di kamar mandi. Bau amis telur sangat sulit dihilangkan, kecap yang lengket pada kulit rambutnya juga membuatnya muak. Beberapa kali Ia memuntahkan isi perutnya hanya karena bau tidak sedap dari perpaduan telur, kecap, dan tepung.
Harusnya ia sudah biasa. Nyatanya masih sama.
Langit ingin marah dan membanting semua barang-barangnya saat ia mengingat kejadian tadi di sekolah. Namun, dia tidak bisa. Seberapa besar kemarahannya tidak akan merubah apapun, terlebih ia melampiaskan kemarahannya pada dirinya sendiri.
Hanya satu cara yang bisa membuatnya tenang, yaitu membaca pesan-pesan dari seseorang. Seseorang yang dulu selalu melindunginya dan menampung segala ceritanya, seremeh apapun cerita yang ia sampaikan.
Sudah hampir dua tahun lebih Langit mencoba terbiasa tanpa seseorang itu, sampai ia mencoba tidak membaca pesan-pesan yang orang itu sampaikan lewat email. Tapi ia tidak bisa.
"Bang Langit! Makan dulu Bang, dari pulang sekolah belum makan! Mau sakit, ya? Orang sakit aja mau sembuh tapi Bang Langit malah mau sakit?!" Gedoran pintu kamar semakin kuat. Adiknya yang barbar itu memang memiliki tenaga yang besar sekali.
Tanpa makan Langit juga sudah merasakan sakit. Memar-memar biru dan luka kecil di wajahnya menyisakan rasa perih. Perut dan punggungnya terasa ngilu. Tubuhnya ini memang lemah. Sekali ditendang ia pasti sudah terkapar.
"Bang! Buka dong pintunya! Bang Langit udah kayak orang-orangan lidi masih mau diet lagi? Bang Langit cita-citanya jadi tusuk gigi, ya?!"
Langit tidak ingin menampakkan wujudnya di depan keluarganya. Dengan wajah lebam-lebam macam ini pasti akan membuat Bundanya histeris. Melihat dirinya tertidur saja Bundanya sudah histeris tidak karuan, apalagi ia dalam kondisi kayak gini.
Ayah? Langit tidak tahu. Mungkin ayahnya akan kembali menghujamnya dengan kata-kata tajam. Dan Luna, adiknya itu akan melontarkan banyak pertanyaan mengenai lebam-lebamnya ini.
"Kesabaran Luna sudah habis! Luna dobrak ya pintunya!"
"Luna!" Langit dapat mendengar suara Ayah menginterupsi tindakan babar yang akan Luna lakukan.
"Kalau Langit gak mau makan jangan dipaksa! Kalau dia lapar nanti juga keluar sendiri." Setelah itu di luar kamar Langit tidak ada lagi keributan.
Langit menghela napas. Ia kembali melanjutkan membaca pesan-pesan itu. Pesan terakhir yang ia baca mampu menerbitkan senyumnya. Pesan itu hanya menceritakan bahwa orang yang spesial bagi Langit itu terpaksa membantu ibunya membuat sushi hanya karena akan ada tamu spesial.
Dia masih sama, sangat tidak suka memasak.
Krukk
Astaga. Langit memegang perutnya. Sungguh ia tidak menampik kalau ia sedang lapar dan butuh sesuap nasi, tapi apa daya ia tidak ingin ada keributan di rumahnya. Lagi pula ia belum siap berhadapan dengan Ayahnya.
Terpaksa Langit mengganjal perutnya dengan air mineral yang selalu ada di kamarnya.
Sebelum mematikan komputernya Langit membaca kalimat terakhir dari pesan yang tadi ia baca.
Hobi Langit itu tidur. Tapi kalau perutnya kosong dia tidak akan bisa tidur haha. Kalau aku bisa kirim sushi buatanku pasti kamu akan senang, dan bisa tidur dengan tenang. Tapi bukan mati hehe.
Untuk kali ini Langit akan berusaha tidur dalam kondisi perut kosong. Kalau tidak bisa ia akan menghitung domba-domba dalam imajinasinya. Mudah bukan?
°°°
Terima kasih sudah baca:)
Jangan lupa kritik dan sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Jingganya (Selesai) ✓
Novela JuvenilIni tentang Langit yang ingin memiliki Jingga sebelum malam merenggutnya. Dan ini tentang Jingga yang merindukan sang Surya. High rank: #2 in perundungan (25/10/21) Start: 26 September 2021 Finish: 23 Desember 2021 *** Credit cover by Canva.