Bagian Dua Puluh Empat

127 27 0
                                    

Hari ini Langit akan kembali pulang ke rumahnya. Barang-barang Langit sudah di kemas oleh Luna. Namun, Langit sangat tidak ingin pulang ke rumah, ia masih enggan menemui Ayah seperti Ayah yang juga enggan menemuinya. Ia merasa malu pada Ayah, karena dirinya benar-benar merasa menjadi anak yang lemah.

Tapi hari ini Bunda sangat terlihat senang tidak lagi melulu menangis setiap dirinya tertidur. Ia tahu Bunda sering kali menangis karena setiap dia bangun tidur ia selalu mendapati mata sembab Bunda. Bunda merawatnya dengan baik di sini, Bunda selalu menanyakan apa yang ia inginkan Bunda juga selalu menyuapinya saat ia makan meskipun ia bisa melakukannya sendiri dan Bunda selalu mengusap lengannya saat ia akan tidur. Waktu masih kecil Bunda sering melakukan itu, mengusap tangan Langit saat akan tidur dan Langit merasa nyaman. Sayangnya, ketika ia beranjak remaja kebiasaan kecil Bunda itu sudah tidak dilakukan meski ia sangat menginginkannya tapi ia juga malu mengatakannya pada Bunda.

Dan Luna, ahh anak itu cengeng sekali. Setiap melihatnya meringis Luna juga ikut meringis seolah-olah merasakannya. Luna juga menyayangkan rambutnya yang harus dipotong karena untuk mengobati lukannya yang ada di kepala. Tapi Luna tidak berbicara apapun selama ia berada di rumah sakit, sepertinya Luna ngambek. Yang terus ia lihat dari Luna hanya menangis, meringis, dan marah-marah tidak jelas.

"Bang, kita pulang sekarang." Bunda datang bersama senyum manisnya.

Langit menghela napas sesaat kemudian mengangguk lesu.

"Kita pulang naik apa, Bun?" tanya Luna sembari membantu Langit berjalan. Badan Langit masih sedikit lemah, dan kakinya juga sempat diinjak oleh Tio.

"Taksi," jawab Bunda.

"Kenapa Ayah nggak jemput?" Luna kembali berbicara tapi nadanya terlihat kesal.

"Luna, Ayah udah nunggu kita di rumah." Senyum Bunda perlahan luntur dan Langit tidak menyukai itu.

"Sudahlah, Luna," sahut Langit.

Luna mendecakkan bibirnya. Ia memalingkan wajahnya dari tatapan Langit. "Kamu ngambek, ya?" tanya Langit.

Luna tidak menjawab gadis itu hanya fokus pada jalannya. Bunda yang melihat tingkah laku kedua anaknya hanya bisa menggeleng. Baru beberapa hari yang lalu Langit yang membantu Luna berjalan karena lutut dan siku anak itu terluka gara-gara jatuh dari sepeda, sekarang Luna yang membantu Langit berjalan. Bunda senang kedua anaknya saling membantu dan mendukung.

Bunda tahu pasti hati Langit sakit hati waktu Ayahnya membeda-bedakannya dengan Luna. Tapi Bunda senang Langit masih menyayangi Luna. Bunda yakin setiap anak memiliki kelebihannya masing-masing, begitu pula dengan Langit.

Walaupun Langit hanya punya hobi tidur tapi Bunda percaya suatu saat nanti Langit akan berhasil dengan caranya sendiri.

"Maafin Abang, Luna," pinta Langit.

"Luna enggak suka Abang kayak gini. Sampai masuk rumah sakit segala lagi. Tahu nggak Luna itu khawatir! Abang kemarin-kemarin bilangnya masih kuat terus kenapa malah ujung-ujungnya masuk rumah sakit? Makanya Bang jangan sok kuat, manusia itu pasti punya sisi lemah. Kalau emang udah enggak kuat ya, bilang! Jangan dipendem sendiri pasti nanti lama-lama jadi sakit. Bukan sakit fisik tapi mentalnya, Bang," omel Luna.

Langit menyunggingkan senyumnya hingga kedua sisi pipinya memunculkan lesung pipitnya. Akhirnya Luna kembali cerewet, ia lebih suka Luna yang memarahinya dan pada terus diam.

°°°

Langit, Luna, dan Bunda turun dari taksi ketika sudah sampai rumah. Kini giliran Bunda yang membantu Langit berjalan sedang Luna membawa barang-barang Langit.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang