Bagian Dua Puluh

134 32 0
                                    

Setelah menuntun sepeda sampai rumah Langit menuntun Luna untuk memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada Bunda yang sedang menonton sinetron kesukaannya. Untuk beberapa saat Bunda tidak menyadari anak bungsunya sedang terluka karena terlalu asik menonton sinetron. Namun, setelah ringisan keluar dari bibir Luna seluruh perhatian Bunda langsung tertuju pada Luna.

"Kamu kenapa? Luka?" Bunda memegang tangan Luna dan memeriksa luka Luna yang berada di siku.

"Kaki aku juga, Bunda." Luna menunjuk lututnya. Mata Bunda melotot tidak percaya.

Langit bergegas mengambil kotak obat yang berada di laci dekat TV. Kemudian Langit membawa kotak obat itu mendekat di mana Luna berada. Saat dirinya akan membuka kotak obat bundanya terlebih dulu mengambil alih. "Biar Bunda aja, Bang."

Langit duduk di sebelah Luna tempat di mana tadi Bunda berada. Ia memperhatikan Bunda yang sedang membersihkan luka Luna dengan telaten. Beberapa kali ringisan keluar dari bibir mungil milik Luna. Ia tahu adiknya itu tidak bisa menahan sakit.

"Sakit, ya?" tanya Langit yang dihadiahi pelotototan mata Luna.

"Udah tahu malah nanya!" jawab Luna.

Langit mengangangsurkan lengannya pada Luna. "Kalau sakit cengkeram aja tangan, Abang. Biar enggak cuman kamu saja yang merasa sakit."

"Enggak ish!"

"Nggak pa-pa, Luna. Cengkeram aja!"

"Eng ... Bunda!" Luna mencengkeram tangan Langit waktu Bundanya tidak sengaja menekan lukanya terlalu kuat.

"Pelan-pelan, Bunda!" protes Luna.

"Kalau udah tahu enggak bisa nahan sakit kenapa kamu malah luka-luka kayak gini? Kamu habis sirkus ya, di jalan tadi?" omel Bunda sembari beralih mengobati siku Luna.

"Lun---"

"Kamu kenapa, Luna!" ucap Ayah yang baru datang dari dapur.

Ucapan Langit terpotong karena kehadiran Ayah. Ayah yang mengetahui anak bungsunya sedang diobati menggertakkan giginya. Dirinya mendapati luka pada siku dan lutut anak gadisnya itu. Mata Ayah beralih pada Langit yang mendudukkan kepalanya.

Tanpa aba-aba tangan Ayah sudah menarik kerah baju anak sulungnya hingga membuat tangan Langit yang dari tadi dicengkeram Luna terlepas. Luna terperanjat melihat tindakan Ayah, begitupun dengan Bunda.

Mata Langit bersitatap dengan mata Ayah yang sudah menajam menghunusnya. Untuk beberapa saat Langit hanya menatap mata Ayah, agar Ayah bisa menahan marahnya. Di sini masih ada Bunda dan Luna, mereka tidak boleh melihat sisi Ayah yang seperti ini.

"Yah---"

Plak

Terlambat. Satu tambaran mendarat di pipi kanan Langit. Bunda menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang sedang dirinya lihat sekarang. Suaminya berani main tangan pada anaknya.

Luna memejamkan matanya dan tangannya mencengkram erat ujung jangketnya. Ia takut abangnya akan terluka.

Melupakan kehadiran istri dan anak bungsunya Ayah mencengkeram dagu Langit. "Ini pasti salah kamu kan? Luna luka gara-gara kamu kan?"

"Asal kamu tahu Langit! Anak yang bisa banggain Ayah itu cuman Luna dan sekarang kamu malah buat dia terluka. Ayah tahu kamu memang enggak becus jaga Luna tapi jangan celakain dia! Apa kamu senggaja, iya? Karena kamu iri sama Luna kamu berusaha buat dia terluka?!"

Rentetan pertanyaan yang dilontarkan Ayah memekakkan telinga Langit dan menyayat hatinya. Ia masih waras lalu bagaimana mungkin dirinya sengaja menyelakai Luna? Luna adiknya! Dan Langit akui dirinya sempat iri dengan Luna yang selalu dianggap kuat oleh Ayah tapi sekarang ia sudah mulai terbiasa dengan itu. Melihat Luna yang terluka juga membuatnya khawatir, lalu mengapa sekarang ia disalahkan?

Langit mengepalkan tangannya menahan amarahnya yang memuncak. Sudah cukup ia dianggap lemah, sekarang ia tidak ingin Ayah terus menyalahkannya. "Berhenti, Yah---"

"Apa? Kami mau melawan ayah, iya?!" tanya Dwi di depan wajah Langit. Dwi menghempaskan dagu Langit hingga kepala anak sulungnya itu tertoleh ke kanan.

Langit menarik napasnya kemudian menghembuskannya pelan. Matanya sudah memerah menahan tangis. Ia dapat melihat Bunda sedang mematung dan Luna yang terus menutup matanya. Ia tidak akan membiarkan ayahnya bertindak lebih jauh lagi di depan mata Bunda dan Luna.

"Yah, jan---"

"Kali ini kamu sudah keterlaluan, Langit! Sepertinya Ayah harus memberi kamu pelajaran!"

"Sini kamu!" Dwi meraih tangan Langit lalu menyeretnya menuju kamar mandi yang berada di dapur.

"Mas!" teriakan dari Bunda tidak dapat menghentikan Ayah.

Dwi mendorong Langit masuk ke kamar mandi hingga membuat Langit terusungkur kemudian ketika istrinya akan ikut masuk kamar mandi ia terlebih menutup pintu. Dwi mengambil pel lantai untuk ia gunakan memukul Langit. Ia ingin anaknya itu jera dan tidak akan mengulangi kecerobohannya lagi.

Bugh

Bugh

Ringisan terus menerus keluar dari bibir Langit ketika gagang pel itu mendarat di bagian tubuhnya. Punggungnya terasa sangat sakit, pundaknya terasa ngilu, dan kakinya mulai perih.

"Mas! Kamu jangan lukai Langit!" Bunda berteriak dari luar kamar mandi sambil memukul-mukul pintu kamar mandi.

Luna menyusul Bundanya saat ia mendengar teriakan pilu milik bundanya. Ia memukul-mukul pintu. "Ayah! Abang nggak salah! Luna jatuh dari sepeda karena Luna ngelamun!"

Di dalam sana Langit terus meminta ampun pada ayahnya namun ayahnya tidak sekalipun menggubrisnya.

"Yah, ampun," rintih Langit.

"Makanya jadi anak jangan nyusahin sama malu-maluin orang tua! Kamu itu laki-laki tapi lemah banget! Biasanya cuman nyelakain adiknya dan jadi samsak teman-teman kamu!"

Bugh

"Arghh! Yah, sakit."

Bugh

"Ayah malu punya anak kayak kamu!"

Kata-kata Ayah tadi lebih menyakitkan dari pukulan yang  Ayah berikan. Ini pertama kalinya Ayah berbicara kalau malu mempunyai anak sepertinya. Air mata Langit semakin meluruh, dadanya benar-benar sesak.

"Yah! Buka pintunya!"

"Tidur kamu di sini!"

Langit berteriak ketika Ayahnya menginjak lengannya sebelum keluar dari kamar mandi. Dengan sengaja Ayah menutup pintu kamar mandi dengan keras.

Brak

Mata Langit tertutup menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Bukan hanya tubuh tetapi hatinya juga merasa sakit. Kali ini menurutnya ayah sudah keterlaluan. Dulu Ayah hanya akan menampar dan memukul dengan tangan Ayah sendiri, sekarang Ayah menggunakan alat. Ditambah Ayah juga mengatakan malu memiliki anak seperti dirinya. Rasanya benar-benar menyesakkan.

Seandainya hari ini Ayah melukainya karena emosi melihat Luna terluka Langit yakin Ayah akan menyesal nanti. Ayah selalu seperti itu, mudah tersulut emosi dan berakhir menyesali.

Tidak hanya sekali Langit mengetahui Ayah selalu berusaha mendekatinya kembali usai menyiksa secara fisik maupun batin tapi usaha Ayah selalu gagal setiap merasakan kecewa padanya.

Ia tahu Ayah bersikap kasar karena didikan kakek dulu. Kata Bunda Ayah selalu terkena pukul setiap melakukan kesalahan, Ayah juga selalu ditekan untuk menjadi yang terbaik untuk kakek. Hingga Ayah menjadi sosok yang sempurna untuk kakek. Namun, dibalik kesempurnaan itu ada emosi Ayah yang tidak bisa dikendalikan. Waktu kakek ada dulu Ayah terus menekan emosinya hingga setelah kakek meninggal emosi Ayah mulai meledak. Dan menurut Langit saat ini lah emosi Ayah benar-benar meledak, di depan Bunda dan Luna. Padahal yang Langit tahu Ayah tidak pernah ingin menunjukkan sisi lainnya pada Bunda dan Luna.

Hanya Langit yang tahu.

Dan hanya Langit yang dapat menyalurkan emosi Ayah yang selalu dipendam.

Langit merasa bangga bisa melihat sisi lain dari Ayah. Tapi juga terlukai.

°°°

Terima kasih sudah membaca:)

Jangan lupa kritik dan saran, oke?

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang