Bagian Delapan Belas

132 29 0
                                    

Langit merasa dirinya begitu bodoh gara-gara demi menjawab rasa penasarannya ia rela melewati tempat musuhnya. Di koridor yang sepi karena kegiatan belajar mengajar sudah mulai Langit berjalan menuju kelas 12 IPS 5, kelas Tio berada. Ia tidak akan ke sana, ia hanya melewatinya untuk sampai ke toilet pria.

Biasanya Langit akan ke toilet pria yang ada di lantai bawah untuk menghindari kelas Tio tapi sekarang dirinya dengan sengaja melewati kelas itu. Ia benar-benar penasaran dengan apa yang dikatakan antek-antek Tio.

Di depan kelas 12 IPS 5 Langit sedikit melongokkan kepalanya di jendela. Matanya menyapu ke seisi kelas dan benar saja, Tio tidak kelihatan wujudnya. Langit menggaruk pelipisnya kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya.

Langit mengingat-ngingat momen di mana Tio menganiayanya. Tio tidak pernah merundungnya berhari-hari, pasti ada jarak. Walaupun antek-antek Tio selalu bilang bahwa setiap Langit menjadi samsak tinju untuk Tio berarti cowok itu sedang butuh hiburan, tapi itu sangatlah berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Tio. Tio selalu bilang membencinya, dan menginginkannya mati.

Namun, ada beberapa momen di mana Tio terlihat tidak mengenalnya atau seperti tidak pernah merundungnya. Seperti di minimarket waktu ia membeli pembalut untuk Luna itu misalnya. Sebenarnya bukan hanya sekali Tio seperti itu, Langit sering kali mendapati Tio yang seperti itu namun dia diam saja, ia terlalu takut kalau nanti Tio tiba-tiba mengangkat tangannya dan memukulnya di depan umum. Lebih baik pura-pura tidak mengenal saja, itu lebih aman.

Ada kemungkinan Tio hanya pura-pura, tapi mengapa pula Tio pura-pura tidak mengenalnya? Ah ini sangat memusingkan untuk Langit.

Selesai menunaikan hajatnya Langit keluar dari toilet lalu menuju ke belakang sekolah, tempat yang menjadi saksi tindak kejahatan yang dilakukan Tio padanya. Ia tidak ingin kembali ke kelasnya yang sedang ada pelajaran matematika, kepalanya sudah sangat pening sekarang apalagi nanti harus memikirkan angka-angka yang membuat kepala mumet.

Di belakang sekolah yang biasanya sepi kini ada beberapa orang dan ada kepala sekolah. Langit menghampiri kepala sekolah lalu menyaliminya.

"Kamu mau nyebat?" tanya kepala sekolah yang membuat Langit terkejut.

Langit menggeleng. "Tidak, Pak. Saya cuman lewat."

Kepala sekolah mengangguk. "Bagus kalau begitu."

"Ini ada apa ya, Pak?" tanya Langit sambil menunjuk dua orang yang sedang sibuk dengan peralatan elektronik dan tangga.

"Bapak mau pasang cctv di sini. Dari kemarin guru BK sering ketemu murid-murid cowok nyebat di sini, dan ada juga yang bolos manjat tembok." Kepala sekolah menunjuk tembok pembatas antara sekolah dan perumahan penduduk.

Bibir Langit melengkung ke atas. Dia akan baik-baik saja setelah ini. Seandainya Tio nanti akan menghajarnya lagi di sini maka CCTV itu akan merekamnya, dan Tio pasti akan mendapatkan balasannya. "Terima kasih, Pak," ucap Langit senang.

"Kalau begitu saya kembali ke kelas dulu, Pak." Langit menyalimi lagi kepala sekolah sebelum beranjak dari sana. Langit berjalan kembali ke kelasnya sambil bersenandung senang.

Kepala sekolah memandang punggung Langit yang semakin jauh, dahi kepala sekolah mengernyit. Beliau terheran-heran melihat Langit yang begitu senang.

Kepala sekolah menggelengkan kepalanya kemudian berujar, "Ada-ada saja."

°°°

Kelas begitu hening mendengarkan guru bahasa Indonesia yang sedang menjelaskan materi. Namun, setelah guru bahasa Indonesia menyampaikan akan memberikan tugas kelompok membuat kelas ricuh. Di kelas 12 ini banyak sekali tugas dan praktik itulah yang membuat anak-anak ricuh. Kelas tambah ricuh saat guru bahasa Indonesia menyebutkan nama-nama anggota kelompok.

Helaan napas berat keluar dari mulut Langit. Langit sangat tidak menyukai tugas kelompok, bukan karena ia individualisme tapi setiap ada pekerjaan kelompok maka ia akan disisihkan dan akan mereka mengadu kalau dirinya tidak ikut mengerjakan. Ya, bagaimana mau ikut mengerjakan kalau setiap dirinya bertanya kapan akan mengerjakan tugas mereka malah diam tidak membalas. Menyebalkan. Lalu guru akan memberikannya tugas tambahan karena dirinya tidak mengikuti kerja kelompok. Sungguh itu sangat melelahkan bagi Langit.

Jingga yang mengetahui wajah murung Langit menepuk punggung tangan cowok itu yang berada di atas meja. "Kerja kelompok enggak seburuk yang kamu bayangkan, Langit."

"Bukan buruk tapi tidak menyenangkan," balas Langit.

"Apa kerja kelompok akan tidak menyenangkan kalau kita dalam satu kelompok?" Sudut bibir Jingga tertarik ke atas.

"Benar?" Langit memastikan.

Jingga mengangguk." Benar, baru saja tadi Ibu guru menyebut namamu dan namaku. Kamu sih nggak mendengarkan!"

Sangking senangnya Langit menarik tangan Jingga yang masih setia berada dipungung tangannya hingga tubuh Jingga terhujung menabrak dada Langit. Langit mendekap erat tubuh Jingga beberapa kali ia juga menggoyangkan tubuh Jingga ke kiri dan kanan.

"Ekhm, Seperti seorang Langitdya Pratama sangat senang satu kelompok bersama Jingga. Ibu harap kali ini kamu ikut mengerjakan tugas kelompok!" Guru bahasa Indonesia memperhatikan tingkah anak didiknya yang terlampau senang itu. Beliau menggeleng kemudian kembali melanjutkan membagi anggota kelompok.

"Langit, malu," bisik Jingga. Jingga merasa dari tadi anak-anak mengawasinya yang sedang berada di dekapannya Langit.

"Aku tidak," ujar Langit.

"Kenapa kamu tiba-tiba tidak punya urat malu, Langit." Jingga mendorong dada Langit untuk menguraikan pelukan mereka.

Langit terkekeh. "Aku memang seperti ini, Jingga."

Hari ini Jingga menemui sisi lain dari Langit. Langit tidak selalu menjadi orang pendiam saja, ada kalanya Langit akan menjadi cerewet saat sedang khawatir, banyak tersenyum hingga lesung di kedua pipinya nampak ketika Langit diberikan hal-hal sederhana yang mampu membuatnya bahagia, menjadi kakak yang baik untuk Luna,  dan berusaha menjadi sosok yang kuat demi harga diri ayahnya.

"Aku sekarang menyadari bahwa kamu benar-benar manusia bukanlah robot, Langit. Kamu memiliki perasaan hangat yang jarang kamu tunjukkan. Aku menyukainya."

Lesung pipi Langit nampak berbarengan dengan senyum yang terbit di wajah Langit. Tangan Langit mengelus rambut Jingga. "Terima kasih, Jingga, sudah menyukaiku. Aku juga menyukaimu."

"Sebagai teman kita juga harus saling menyayangi bukan cuman saling menyukai, Langit."

Temannya? Ah, Langit ternyata dari tadi salah paham. Harusnya Langit ingat bahwa Jingga tidak menginginkannya lebih dari seorang teman. Memangnya, setiap orang yang menyukai kita harus menjadi pasangan atau pacar? Tidak bukan?

"Kemarin ada seseorang yang bilang padaku begini 'Jingga, kamu tahu bahwa rasa sayang itu tidak harus ada di antara orang yang sedang pacaran. Rasa sayang itu juga harus ada pada keluarga dan teman. Jadi kalau kamu menyayangi temanmu itu, aku tidak keberatan aku percaya sama kamu. Kalian berteman, jingga'. Kita teman jadi wajar kita saling menyayangi, Langit," ujar Jingga.

Langit mengangguk sembari menahan sudut bibirnya agar terus tertarik ke atas. Langit ingin sekali bertanya siapa yang seseorang yang bilang seperti itu pada Jingga, sayangnya ia tidak ingin Jingga risih kalau ia memberikan pertanyaan seperti itu.

Pertanyaan besar yang timbul di kepala Langit adalah seberapa dekat Jingga dengan orang itu. Langit merasa Jingga sepertinya sangat dekat dengan orang itu, hingga orang itu percaya pada Jingga.

Tapi bisa saja itu Kakak-kakak Jingga yang ada di Jogjakarta bukan? Bisa saja.

°°°

Terima kasih sudah membaca:)

Jangan lupa kritik dan sarannya, oke!

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang