Bagian Sebelas

145 32 0
                                    

Langit berlari keluar rumahnya secepat yang ia bisa. Tinggal sepuluh menit lagi gerbang sekolahnya akan ditutup dan ia masih harus mengayuh sepedanya sampai sekolah. Sudah dipastikan ia akan telat.

Langit mengambil sepatunya di rak lalu memakainya. Gerakan tangan Langit yang sedang menali sepatu terhenti kala mendapati sepatu kerja ayahnya berada tepat di hadapannya. Ia menghela napas panjang, kenapa pula Ayah belum berangkat kerja?

"Ayah senang," ungkap Dwi.

"Untuk apa? Perundungan yang Langit alami? Atau ... kelemahan Langit dalam bela diri?" Langit berdiri usai mengikat tali sepatunya.

"Jingga," jawab Dwi.

"Egois." Langit berjalan meninggalkan Ayah. Ini bukan suasana yang tepat untuk berdebat dengan Ayah.

"Langit!" Langkah Langit berhenti namun ia masih membelakangi Ayah. "Apa kamu sudah melupakan tata krama dengan orang tua?"

Tanpa diketahui Ayah, Langit memutar bola matanya. Ia berbalik untuk menyalimi tangan Ayah. "Apakah Ayah sudah lupa dengan kewajiban sebagai orang tua?" sindir Langit yang dihiraukan oleh Ayah.

"Masuk mobil!" perintah Dwi tak ingin dibantah.

"Untuk apa? Langit sudah terbiasa bersepeda."

"Kamu akan telat."

"Memang, Langit sengaja."

Dwi bungkam. Dalam hatinya ia merasa sakit atas sikap anak sulungnya padanya. Sangat susah untuk mendekati Langit, terlebih sifat mereka sama persis. Sungguh, ia sangat ingin memiliki hubungan baik dengan anak sulungnya ini, seperti hubungan Ayah dan anak lainnya. Namun, sepertinya ia tidak akan bisa mewujudkan itu. Ia sudah terlanjur menyakiti hati dan fisik Langit secara bersamaan.

Tatapan Dwi terus tertuju pada punggung Langit yang semakin menjauh. Sepertinya tidak akan ada kehangatan antara dirinya dan Langit.

°°°

Matahari yang seharusnya memancarkan rasa hangat malah membuat Langit kepanasan. Dahi dan lehernya sudah berlumuran keringat akibat menggelilingi lapangan sekolah yang sangat lebar sebanyak tiga puluh lima kali. Ini semua gara-gara ia terlambat sekolah, seperti dugaannya. Syukur-syukur ia diperbolehkan masuk meskipun harus dihukum.

Langit semakin gerah karena bukan hanya dirinya saja yang dihukum, Tio dan geng gak jelasnya juga turut dihukum karena ketahuan masuk lewat belakang sekolah. Dan yang paling membuatnya emosi adalah geng Tio itu selalu saja menjahilinya, entah itu sengaja mendorong, menendang,memukul, bahkan meludahinya. Sudah beberapa kali ia terjatuh hanya gara-gara kakinya ditendang dari belakang.

Mereka seperti tidak memiliki rasa takut kepada Pak Gun yang sedang mengawasi dari lantai dua sekolah. Setiap Pak Gun menyerukan nama mereka, mereka akan diam tapi hanya sebentar dan kemudian berulah lagi. Menyebalkan.

"Ya! Langit, sejak kapan kamu suka lari?" teriakan itu berasal dari gadis berponi yang ada dipinggir lapangan.

Jingga yang tidak mendapat jawaban dari Langit berdecak sebal. Ia menghampiri Langit dan berlari di sebelah cowok itu.

"Kembali ke kelas, Jingga!" perintah Langit.

"Mau nemenin kamu."

"Nanti kamu terluka."

"Ish mana ada lari bikin terluka! Yang ada jadi sehat!" bantah Jingga.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang