Langit berwarna abu-abu dan hujan turun dengan derasnya. Air hujan mulai menggenang di jalan yang memiliki lubang. Angin-angin berhembus membawa dingin yang menusuk kulit. Di bawah derasnya hujan itu ada Langit yang berjalan menuju SMAnya dulu dengan santai seolah hujan dan udara yang dingin tidak mempengaruhinya sama sekali. Langit sudah menjadi alumni di sana. Ia ke sana untuk menjemput Luna. Iya, Luna mengikuti jejaknya untuk bersekolah di SMAnya dulu.
Bulan Desember ini hujan benar-benar lagi deras-derasnya. Meski begitu Langit sering kali lupa untuk membawa payung, seperti sekarang contohnya. Ia hanya melindungi kepalanya dengan kupluk hoodienya.
Dan Langit sudah berhasil membiasakan diri tanpa Jingga di sisinya, sudah hampir enam bulan ia berpisah dengan Jingga. Jingga sudah pergi ke Jogja sejak bulan Juni.
Memang Langit akui sangat tidak mudah, bagaimana pun perasaannya untuk Jingga belum hilang sepenuhnya. Lalu ia terpaksa merelakan Jingga pergi.
Di bulan Desember tahun lalu ia dan Jingga masih bisa duduk bersama di koridor sekolah sembari memandang hujan dan membicarakan sebuah perpisahan. Dan di bulan Desember tahun ini, Jingga sudah pergi.
Sebelum kepergian Jingga, Langit mendapatkan pesan dari Surya. Cowok itu meminta maaf padanya dan juga berterima kasih. Meminta maaf karena membuat Jingga harus pergi dan meninggalkannya, dan berterima kasih sudah membiarkan Jingga pergi dan bisa bersamanya kembali, tanpa ada jarak lagi.
Harusnya Surya tidaklah perlu meminta maaf ataupun berterima kasih padanya. Dari awal tempat Jingga bukanlah di sini, Jingga di sini hanya sementara. Namun, Langit membalas pesan dari Surya dengan apa adanya, ia mengakui bahwa ia merasa sedih akan kepergian Jingga tapi ia juga tidak bisa menahannya.
Sejauh ini komunikasi antara Langit dan Jingga masih lancar, dan Langit berharap terus begitu. Tidak setiap hari ia dan Jingga bertukar pesan, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk Langit.
"Bang Langit! Kenapa hujan-hujanan sih? Kayak bocah aja!"
Baru saja Langit sampai di gerbang sekolah tapi sudah di sambut oleh pelototan tajam dari Luna. Luna menarik Langit mendekat padanya supaya Abangnya itu terlindungi oleh payung yang ia pakai sekarang.
"Abang jalan kaki?" tanya Jingga.
"Iya. Motor Abang bannya kena paku di jalan," jawab Langit.
"Terus ini kita pulangnya gimana?"
"Jalan kaki. Lagian rumah kita enggak terlalu jauh, Luna."
"Hujan, Bang. Abang enggak lihat baju Abang yang udah basah kuyup? Terus kenapa Abang enggak bawa payung juga? Kalau begini nanti kita bisa sama-sama sakit! Mending kita berteduh dulu di koridor!" Luna menyeret Langit ke koridor sekolah yang masih sedikit ramai. Banyak murid juga yang masih berteduh.
Luna dan Langit sama-sama duduk di kursi koridor. Beberapa kali Langit mendapati siswi-siswi memperhatikannya. Langit menghela napas, ia tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Ngomong-ngomong rencana Abang gimana? Jadi kuliah tahun depan?" tanya Luna.
Langit mengangguk. Setelah lulus Langit memang tidak langsung mengambil keputusan untuk kuliah, ia memilih berhenti dulu. Ayah sempat kaget mendengar keputusannya itu, tapi Ayah menghargai apapun keputusan yang diambil oleh Langit.
Langit masih berusaha untuk menyelami dirinya sendiri dan menanyakan apa kemauan yang benar-benar ia mau. Ia tidak ingin salah mengambil keputusan.
Akhirnya setelah beberapa bulan Langit mendapatkan jawabannya, ia mengambil keputusan untuk berkuliah. Maka dari itu kesibukannya akhir-akhir ini adalah belajar dan belajar, ia ingin masuk perguruan tinggi negeri di jurusan hukum. Dan Langit tahu untuk masuk jurusan hukum di PTN sangatlah tidak mudah, ia perlu niat dan usaha yang kuat.
Kesibukan yang ia miliki sekarang juga sangat membantunya untuk mengisi kekosongan setelah Jingga pergi.
"Bagus deh! Biar enggak di rumah mulu. Luna kasihan lihat Abang kayak gitu. Kegiatannya cuman belajar kalau enggak cuman tidur sama ngelamun nggak jelas."
"Kayak kamu enggak aja," balas Langit.
"Enggak! Luna banyak kegiatan, ya!"
"Iya-iya." Langit mengalah.
"Kondisi hati Abang gimana tuh? Udah baik-baik saja?" Jingga menunjuk-nunjuk dada Langit.
"Kondisi hati kamu gimana tuh? Udah baik-baik saja?" Bukannya menjawab Langit malah balik bertanya dan berhasil membuat Luna berdecak sebal.
"Udah baik-baik saja. Nyatanya waktu Luna terima kabar dari Kak Angkasa kalau mau nikah aku enggak nangis tuh malah senang."
"Iya gimana kamu enggak seneng, kalau Angkasa nikah kita kan ke Jepang!"
Luna tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Langit. Langit sempat meringis akibat tepukan Luna yang lumayan kuat di bahunya. "Iya itu salah satu yang buat Luna senang. Tapi yang buat Luna senang tuh keberhasilan Luna buat menyisihkan perasaan Luna untuk Kak Angkasa."
"Kalau Abang gimana udah baik-baik saja?" tanya Luna.
"Ini masih di usahakan," jawab Langit.
"Semoga berhasil. Kalau Luna berhasil pasti Abang juga." Luna mengacak-acak rambut basah Langit. "Semangat!"
"Iya," jawab Langit sambil merapikan rambutnya yang sudah acak-acakan.
"Tadi Luna dengerin teman Luna baca puisi ada satu kalimat yang cocok untuk Abang. Dengerinnya, "Awal akan berakhir dan akhir adalah awal." Menurut Luna kalau Bang Langit sama Kak Jingga berakhir dengan perpisahan maka nanti Bang Langit akan menemukan awal yang baru. Mungkin awal baru yang Bang Langit mulai bukan dengan Kak Jingga tapi dengan orang-orang baru dan suasana baru."
Langit mengangguk sembari melengkungkan ujung bibirnya hingga kedua lesung pipinya terlihat. "Abang suka kalimat itu."
Awal akan berakhir dan akhir adalah awal.
Mungkin akhirnya Langit berpisah dari Jingga. Namun, perpisahannya bukanlah akhir dari cerita hidupnya.
Langit masih akan menghadapi awal yang baru.Tamat
Untuk yang sudah membaca Langit dan Jingganya dari awal aku ucapkan terima kasih banyak:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Jingganya (Selesai) ✓
Ficção AdolescenteIni tentang Langit yang ingin memiliki Jingga sebelum malam merenggutnya. Dan ini tentang Jingga yang merindukan sang Surya. High rank: #2 in perundungan (25/10/21) Start: 26 September 2021 Finish: 23 Desember 2021 *** Credit cover by Canva.