Bagian Dua Puluh Sembilan

106 28 0
                                    

Kelas dua belas tidak akan sebebas kelas sepuluh maupun kelas sebelas. Di kelas dua belas kita akan banyak menghadapi banyak ujian, tak jarang pula masalah juga akan tiba, di kelas dua belas pula kita harus menentukan tujuan kita setelah lulus dari SMA. Ketika kita sudah menginjak ke kelas dua belas maka kita tidak akan mempunyai waktu untuk berleha-leha.

Sekarang Langit sangat mencemaskan Jingga. Sudah tiga hari gadis itu tidak masuk sekolah, Jingga izin sakit. Sebentar lagi akan ujian seandainya Jingga tidak kunjung masuk maka dia akan tertinggal pelajaran.

Rasa bersalah menggerayangi hati Langit, ia merasa sudah membuat Jingga sakit. Seharusnya sekarang Jingga ada di sebelahnya memperhatikan guru yang menjelaskan materi di depan bukan malah sepanjang hari tiduran di ranjang. Bagaimana pun juga Jingga sama seperti dirinya, murid kelas dua belas.

Masa-masa kelas dua belas Jingga sudah terbuang percuma karenanya. Ia masih ingat Jingga yang nekat mengajaknya membolos hanya untuk memberikan momen indah untukknya di masa SMA, ia juga tahu Jingga turut membantunya dalam menyelesaikan masalah yang membelenggunya selama dua tahun.

Langit tidak tahu selama sekolah di sini Jingga akan memiliki kenangan indah atau tidak, atau malah ia lah yang membuat kenangan Jingga indah menjadi buruk.

Langit menjadi overthingking semenjak Jingga tidak masuk sekolah dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Bisa saja Langit mengunjungi rumah Jingga namun ia merasa takut jika ia ke sana Jingga akan mengusirnya. Pertemuan terakhirnya dengan Jingga sangat tidak baik, Jingga terlihat kecewa, marah, dan menyalahkan diri sendiri.

Bel istirahat berbunyi dan guru yang mengajar di kelas Langit mengakhiri pelajaran. Langit menghela napas lalu merapikan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia mengambil bekal yang Bunda buatkan untuknya. Seandainya Jingga di sini pasti cewek itu akan ikut makan bekal bersamanya sekarang.

"Gimana diterima?" tanya Andi yang sudah duduk di kursi depan meja Langit.

"Diterima?" Sebenarnya Langit tahu apa yang dimaksud oleh Andi mengenai pernyataan cintanya pada Jingga.

"Kamu udah nembak Jingga kan?"

Langit terkekeh sembari mengangguk. "Sudah."

"Diterima?"

"Tidak. Memang seharusnya tidak."

Andi berdecak sebal karena ucapan Langit yang berbelit-belit. "Kenapa tidak? Terlalu cepat kah?"

"Bukan terlalu cepat tapi memang seharusnya tidak."

"Ken-"

"Jingga sudah punya pacar, Andi," potong Langit.

Andi melonggo untuk beberapa saat tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Siapa juga yang bakal percaya kalau Jingga sudah punya pacar kalau cewek itu hanya dekat dengan Langit. "Pacar? Siapa? Jingga dekatnya sama kamu aja kok!"

"Aku enggak tahu siapa namanya. Tapi kalau kamu pikir Jingga dekatnya cuman sama aku karena ada rasa kamu salah, kita cuman akan menjadi teman tidak akan lebih dari itu. Lagi pula Jingga anaknya memang ramah sama semua orang, awal pertama kali ia datang ke sini dia juga langsung bisa bergaul sama anak kelas," balas Langit.

"Setelah ini pertemanan kamu sama Jingga gimana, Lang?"

"Aku berharap akan baik-baik saja, aku akan minta maaf sama Jingga."

Andi mengernyit tidak mengerti. "Kenapa harus minta maaf? Setiap orang berhak memiliki perasaan pada orang lain."

"Jingga menyalahkan dirinya sendiri karena kesalahanku. Aku tahu bahwa perasaanku bukanlah kesalahan, tapi kalau aku menempatkan diri sebagai Jingga maka aku juga akan merasa bersalah. Pasti dia merasa sudah mengkhianati pacarnya setelah aku mengungkapkan rasa."

Andi menepuk pundak Langit. "Aku yakin Jingga akan maafin kamu."

Langit mengamini ucapan Andi dalam hati.

°°°

Rumah Langit sedang sepi karena Bunda yang ada arisan di tetangga sebelah rumah, Ayah yang harus kembali bekerja, dan Luna yang entah kemana sebab sejak Langit pulang sekolah anak itu sudah tidak ada.

Di sofa depan TV Langit tidur selonjoran sembari ditemani suara bising dari sinetron yang ia tonton. Ia tidak benar-benar tidur ia hanya menutup mata dan pikirannya yang sedang melelang buana dan berujung pada satu nama yaitu Jingga.

Langit melenguh lalu mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping. Dari tadi ia hanya seperti ini mengganti-ganti posisi tidurnya dan berharap ia bisa terlelap sepenuhnya.

"BANG LANGIT! LAGI! ASTAGA!" Langit memegang dadanya terkejut akibat teriakan Luna yang tiba-tiba. Kapan Luna masuk rumah?

Langit membuka matanya dan mendapati Luna yang masih memakai seragam berdiri di depan TV. Bahkan tas masih berada di bahu Luna. "Kenapa kamu semakin lama kayak jelangkung, Luna? Datangnya selalu tiba-tiba!"

Luna melepas tasnya lalu membantingnya ke lantai dan berhasil kembali membuat Langit terkejut. "Kenapa nggak ke rumah Kak Jingga? Katanya besok tapi mana? Sekarang Abang malah leha-leha di sini!" omel Luna.

"Tenang, Luna."

"Bagaimana Luna bisa tenang, Bang? Ini pertemanan Abang loh yang jadi taruhannya!" Luna beranjak kemudian menendang kaki Langit agar turun dari sofa lalu ia duduk di samping Langit.

"Kamu lagi datang bulan ya, Lun? Dari tadi marah-marah mulu padahal kamu bisa bicara sama Abang secara baik-baik."

Luna berdecak lalu memberi Langit tatapan tajam. "Iya, Luna sedang datang bulan! Tapi Bang meskipun Luna enggak datang bulan Luna juga bakal marah-marah sama Abang kalau Abang kayak gini terus."

"Kamu tahu sendiri kan kenapa Abang belum ke rumah Jingga-"

"Karena takut diusir, iya kan?" Luna terkekeh. "Itu cuman dipikiran Abang aja! Luna tahu kok Kak Jingga tidak akan melakukan itu. Kemungkinan Kak Jingga itu enggak bakal usir Abang malah Abang akan di sambut sama Kak Jingga."

"Tapi, Lun-"

"Berhenti berpikir yang enggak-enggak, Bang! Ingat Abang itu laki-laki harusnya bisa berjuang lebih dari ini. Abang harusnya ingat perjuangan Kak Jingga yang ngajak Abang yang datar dan dingin ini buat temenan. Seandainya nanti perteman Abang sama Kak Jingga hancur gara-gara perasaan Abang itu sama aja Abang hancurin perjuangan Kak Jingga buat jadi teman Abang!"

"Luna yakin Kak Jingga bukan orang yang pendendam jadi pasti akan memaafkan Abang. Dan lagi, bukanya Abang bilang Kak Jingga juga menyalahkan diri sendiri gara-gara Abang yang nyatain perasaan? Jadi Bang, kalau Abang ingin Kak Jingga berhenti menyalahkan dirinya sendiri harusnya Abang secepatnya pergi dari sini untuk menemui Kak Jingga lalu meminta Kak Jingga untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan juga meminta maaf!"

Langit mencerna semua perkataan Luna dan semua yang dikatakan Luna tidaklah salah, sama sekali tidak salah. Luna memandang Langit yang hanya diam kemudian berdecak dan pergi meninggalkan Langit.

"Enggak usah banyak berpikir, Bang, masalah Abang sama Kak Jingga bukan soal matematika!" teriak Jingga sebelum memasuki kamarnya.

Langit menghela napas kemudian beranjak dari duduknya. Ia bergegas ke kamarnya lalu bersiap-siap untuk pergi ke rumah Jingga.

Ia akan mengikuti apa yang dikatakan oleh Jingga, ia tidak perlu berpikir lagi untuk menemui Jingga.

°°°

Terima kasih sudah membaca:)

Jangan lupa kritik dan sarannya, oke?!

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang