Usai guru mengakhiri pelajaran Jingga bergegas menghampiri anggota kelompoknya untuk tugas bahasa Indonesia, Jingga juga menyeret Langit untuk ikut bersamanya. Langit kalau tidak diseret pasti enggan untuk menemui anggota kelompoknya sendiri.
"Hai-hai," sapa Jingga.
"Hai," balas Ani cewek berambut sebahu.
"Mau ngerjain tugasnya kapan? Kita harus cari novel sejarah dulu kan? Atau mau cari yang cerita sejarah aja?" tanya Jingga sambil duduk di depan Ani.
"Aku kapan aja bisa kok, tapi enggak tahu pak ketua kan dia sibuk banget. Novel sejarah atau cerita sejarah kita ambil suara dari kelompok aja, yang paling banyak nanti kita pilih, gimana?" usul Ani.
"Pak ketua sekarang kemana emang? Perasaan tadi masih di kelas." Jingga mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas.
"Lagi ngumpulin buku dia. Sebentar juga balik."
Jingga mengangguk. Kala Jingga mendongak ia mendapati Langit yang dari tadi hanya berdiri seperti patung. Ia mendesah lalu menarik tangan Langit untuk duduk di sampingnya. Langit tersenyum kikuk pada Ani yang dari tadi memperhatikannya.
"Kalian pacaran, ya?" tanya Ani sembari menunjuk Langit dan Jingga. "Tadi kalian juga sampai pelukan waktu tahu satu kelompok."
"Cuman teman," jawab Langit mendahului Jingga yang sudah membuka mulutnya. Toh, Ia sudah tahu Jingga akan menjawab apa.
"Tapi kalian terlihat lebih dari teman."
"Sungguh?" tanya Jingga,"apa aku sudah kelewatan batas, ya?"
Ani terkekeh ia menepuk-nepuk tangan Jingga. "Kalaupun kalian pacaran juga enggak pa-pa, kalian cocok kok."
Tidak
Jadi benar dirinya sudah melewati batas lalu mengapa Langit tidak menegurnya? Ia tidak menginginkan kalau Langit salah mengartikan sikapnya selama ini. Sungguh, Jingga menyayangi Langit sebagai teman, tapi tidak lebih dari itu.
Andai benar Langit menyalah artikan sikapnya selama ini, pasti Langit akan terluka. Jingga hanya ingin membuat bahagia pada masa-masa SMA-nya, bukan memberi cowok itu luka baru.
Jingga tahu Langit itu cowok yang kuat tapi bukan berarti cowok itu akan terus menerus menerima luka. Dia berhak bahagia. Setiap orang berhak bahagia dan tidak ada seorangpun yang berhak menghancurkan kebahagiaan seseorang.
"Emm, Langit kalau sedikit berusaha lagi pasti bisa mendapatkan, Jingga. Kalau aku lihat-lihat selama ini Jingga saja yang selalu mendekati Langit lebih dulu," sahut cowok jakung yang baru datang. Cowok itu kemudian duduk di kursi sebelah Ani.
Langit mengusap lehernya. Yang dikatakan Andi, ketua kelas, ada benarnya juga. Selama ini Jingga yang selalu memulai dan Langit hanya menanggapi seadanya saja. Jingga selalu mengajaknya bicara dan mencari topik di setiap pembicaraan, namun dirinya hanya mengikutinya saja. Apa dirinya perlu berjuang untuk mendapatkan Jingga? Lalu apa setelah ia berjuang ia akan benar-benar bisa memiliki Jingga?
"Kenapa jadi bahas aku sama Langit?" tanya Jingga.
"Lalu mau bahas aku sama Ani gitu?" Andi tertawa pelan. "Kita udah jadian."
Andi mendapatkan satu cubitan di pinggangnya dan pelotototan dari Ani. "Lemes banget sih mulut kamu!"
"Kita backstreet jadi kalian berdua harus tutup mulut," ucap Andi sambil mengusap pinggangnya bekas cubitan Ani, rasanya nyut-nyutan.
"Kamu udah bilang sama kita jadi kalian bukan backstreet lagi," sahut Langit.
"Iya, bener," timpal Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Jingganya (Selesai) ✓
Ficção AdolescenteIni tentang Langit yang ingin memiliki Jingga sebelum malam merenggutnya. Dan ini tentang Jingga yang merindukan sang Surya. High rank: #2 in perundungan (25/10/21) Start: 26 September 2021 Finish: 23 Desember 2021 *** Credit cover by Canva.