Bagian Tiga Puluh Dua

163 25 0
                                    

Setelah mengambil keputusan untuk menyisihkan rasanya dan memilih berteman saja dengan Jingga, Langit dan Jingga menjalani rutinitasnya seperti biasanya. Awalnya memang ada cangung di antara mereka namun mereka sama-sama berusaha untuk mengubah suasana menjadi hangat kembali.

Mereka sama-sama tidak menyingung lagi mengenai perasaan. Kini mereka hanya fokus belajar, Jingga yang ingin meraih tujuannya dengan berkuliah di kampung halamannya sedangkan Langit masih bingung akan tujuannya.

Langit tidak tahu setelah lulus ia akan kemana? Kerja atau kuliah. Selama ini ia hanya mengikuti arus, dan semuanya sudah ditentukan oleh Ayah. Lalu kini Ayah memilih membebaskannya dan membuat Langit bingung sendiri.

"Kalau capek pulang aja, Langit," ucap Jingga, "aku bisa pulang sendiri kok nanti."

Dari tadi Langit memang hanya menidurkan kepalanya di meja sambil memandang Jingga yang serius dengan bukunya. Hari ini ia menemani Jingga ke toko buku, ada beberapa buku yang harus Jingga beli tapi ujung-ujungnya ia dan Jingga terjebak di sini. Ia baru tahu tempat yang paling disukai Jingga adalah toko buku.

"Aku enggak capek kok," jawab Langit.

"Tapi aku lihat dari tadi kamu lemes banget. Kayaknya kamu perlu mengisi baterai kamu lagi deh. Atau kamu ada masalah?"

"Berhubung aku masih hidup aku masih punya masalah, Jingga." Langit terkekeh lalu menarik buku yang ada di depannya untuk ia jadikan penutup wajahnya. "Aku mau tidur. Kalau kamu sudah selesai bangunin aja."

Jingga mendengus. Ia membiarkan Langit yang pergi ke dunia mimpi. Buku yang ada di tangannya ia tutup kemudian menyangga dagunya dengan tangannya.

Suasana di toko buku tidak terlalu ramai sangat mendukung untuk Langit bisa tidur nyenyak. Jingga memperhatikan Langit lamat-lamat, tinggal beberapa bulan lagi ia akan berpisah dengan Langit.

Nanti pasti Langit akan kecewa padanya. Ia akan menjadi seperti Angkasa, sosok yang akan mengucapkan sampai jumpa lagi sebelum meninggalkan Langit pergi.

Setelah kejadian Langit mengutarakan perasaannya dan kesalahpahaman diantara mereka, Jingga tidak menjaga jarak dari Langit sekalipun. Langit sudah meminta dirinya untuk menjadi temannya, dulu pun ia juga meminta Langit untuk menjadi temannya.

Ia juga tidak ingin menjaga jarak dari Langit karena waktunya di kota ini tidak banyak. Waktu di kelas dua belas akan terasa lebih cepat. Tapi bukankah begitu? Semakin kita dewasa maka akan merasa bahwa waktu terasa berjalan lebih cepat.

Meski begitu Jingga berusaha untuk menjaga sikap agar Langit tidak berharap lebih lagi. Sekarang ini pasti Langit sedang berusaha menghapus perasaanannya, dan Jingga tidak ingin mengacaukannya. Kalau Jingga pikir-pikir lagi, kepergiannya nanti akan mempermudahkan Langit menata perasaannya lagi.

Jingga berharap nanti setelah pergi dan kemudian bertemu Langit kembali ia mendapati perasaan Langit yang sudah pulih.

Jingga meyakini bahwa yang patah akan tumbuh dan yang hilang akan terganti seperti lagu milik Banda Neira.

"Lanjutin aja belajarnya, jangan lihatin aku," ujar Langit yang membuat Jingga terkejut. Jingga kira Langit benar-benar tidur dan menjemput mimpinya.

"Pede banget kamu."

"Lebih baik percaya diri dari pada rendah diri."

"Tapi percaya diri yang berlebihan juga tidak baik."

"Sudahlah, aku mau tidur."

Jingga mencebikkan bibirnya kemudian kembali membuka buku yang tadi ia pelajari. Entah perasaannya saja atau memang benar, sekarang Langit benar-benar menjadi menyebalkan.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang