"Bukan, Jingga. Aku menyayangi kamu lebih dari teman. Aku tidak hanya melihatmu sebagai teman tapi seorang wanita, jadi aku menyayangi kamu juga sebagai wanita, Jingga."
"Aku bukan hanya sayang sama kamu, Jingga, tapi mencintai kamu juga," lanjut Langit.
Tak
Pensil di tangan Jingga terlepas dari genggaman Jingga. Ia menatap Langit tidak percaya. Namun, Jingga lebih tidak percaya kepada dirinya sendiri. Jingga meremas tangannya, ia sangat tidak percaya hari ini akan datang.
"Jingga, apa kamu mau jadi pacarku?" tanya Langit sembari menatap Jingga yakin.
"Langit, ini salah," ujar Jingga dengan suara yang mulai bergetar.
Langit mengernyit tidak mengerti. "Jawabannya cuman dua,Jingga, Iya dan tidak."
Jingga menghela napas untuk menetralkan emosinya yang mulai tersulut. Tidak, ia tidak marah pada Langit. Yang ia tahu ini adalah sebuah kesalahan, dan dirinyalah penyebab dari masalah ini.
"Maka aku menjawab tidak," jawab Jingga.
Keyakinan Langit seketika runtuh mendengar penuturan Jingga. Ia menatap Jingga penuh tanda tanya dan ketidak percayaan. Jingga menolaknya, kenapa?
"Ken-"
Jingga memotong ucapan Langit, "Tolong jangan tanya kenapa, Langit, karena memang seharusnya tidak seperti ini."
Jingga menunjuk diri Langit. "Kamu tidak seharusnya menaruh rasa padaku, Langit. Bukankah dari awal aku sudah pernah bilang seandainya sikapku sudah berlebihan sebagai teman maka kamu harus mengingatkanku. Tapi kenapa kamu tidak mengingatkanku dan malah menaruh rasa padaku?"
Langit membisu dan membiarkan Jingga terus bersuara. Hati Langit rasanya perih, semua kata-kata yang Jingga tuturkan sangat menamparnya. Namun, itulah kenyataannya, ia selalu menikmati semua yang Jingga lakukan padanya dan mengabaikan peringatan Jingga yang sudah Jingga beritahu dari awal.
"Tapi kamu tidak salah, Langit, ini semua salahku. Aku tahu perasaan seseorang tidak bisa dikendalikan, dan setiap orang bebas menaruh rasa kepada siapa pun karena itu hak mereka. Dan aku tidak berhak melarang kamu untuk sayang ataupun mencintaiku. Dari awal ini memang salahku Langit, aku yang tidak bisa menjaga sikap sebagai teman. Tapi Langit, aku sangat menyayangi kamu sebagai teman tidak lebih."
"Jingga, aku tidak masalah kalau cintaku bertepuk sebelah tangan-" asal kamu jangan menyalahkan diri kamu sendiri.
Ucap Langit harus kembali terpotong oleh gelengan kepala Jingga. "Aku sudah punya pacar, Langit."
Deg
Pacar?
Sungguh, Langit ingin sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan Jingga. Bisa saja Jingga hanya beralaskan untuk menolaknya. Namun, mata Jingga tidak sekalipun menyiratkan kebohongan. Mata Jingga yang mulai basah. Langit menjadi bertanya-tanya kenapa Jingga menangis? Bukankah di sini dia yang terluka? Apa ia sudah melukai Jingga dengan menyatakan cinta?
"Baru tadi pagi aku berharap agar kamu selalu bahagia, Langit, tapi sekarang aku malah memberi kamu luka. Maafkan aku, Langit ..." Usai mengatakan itu Jingga beranjak dari duduknya dan keluar dari kelas dengan tergesa tanpa melihat wajah Langit. Jingga tidak ingin melihat raut kecewa Langit, itu sangat menyesakkan. Ia merasa setelah semua ini ia benar-benar tidak pantas menjadi teman Langit.
Mana ada teman yang kembali menorehkan luka pada temannya yang baru saja bahagia?
Langit memandang kepergian Jingga. Ia tersenyum pedih, Jingga meninggalkannya. Ini bukan perkara terlalu cepat menyatakan cinta karena sebenarnya Langit tidak perlu menyatakan cinta, ia hanya perlu memendamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Jingganya (Selesai) ✓
JugendliteraturIni tentang Langit yang ingin memiliki Jingga sebelum malam merenggutnya. Dan ini tentang Jingga yang merindukan sang Surya. High rank: #2 in perundungan (25/10/21) Start: 26 September 2021 Finish: 23 Desember 2021 *** Credit cover by Canva.